PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Pengasuh Anak CEO

Pengasuh Anak CEO

Penulis:Achi

Tamat

Pengantar
Fransiska Azalia, gadis berusia 24 tahun yang menganyam pendidikan hanya sampai bangku sekolah menegah atas. Hidup sebatang kara tanpa orang tua atau keluarga lainnya membuatnya harus banting tulang untuk membiaya kebutuhan hidup sehari-hari dan membayar utang-utang yang ditinggalkan mendiang Ayah dan Ibunya. Namun, sialnya pekerjaan yang dia harapkan dapat menghasilkan uang malah hilang karena sebuah fitnah dari teman kerjanya sendiri. Akan tetapi, di tengah kegelapan pasti ada setitik cahaya harapan. Pertemuan tak sengaja dengan salah satu sahabat semasa SMA membawanya ke dalam sebuah pekerjaan baru dengan gaji yang mengiurkan, yaitu sebagai pengasuh anak salah satu CEO terkenal. Pekerjaan yang dipikirnya akan sangat membantu perekonomiannya itu, ternyata malah menjadi awal petaka itu datang. Kejadian di suatu malam yang mampu mengubah segalanya. Seperti apakah kehidupan Siska setelah menjalani pekerjaan barunya? Petaka apakah yang akan didapatkannya?
Buka▼
Bab

"Siska!"

Kedua bahu yang nampak turun dengan langkah gontai di pinggiran trotoar jalan, tak lupa wajah kusut yang terus ditekuk. Siska menghentikan langkah kalah telinga menakap suara yang terasa familiar.

Perlahan dia menoleh ke belakang dan mendapati seorang gadis bertubuh mungil yang berlari ke arahnya. Mungkin tinggi gadis itu hanya sebatas dagu Siska.

Kedua mata milik Siska menyipit, mencoba mengenali siapakah sosok tersebut. Jarak mereka kian mendekat, membuat Siska dapat melihat dengan begitu jelas setiap lekukan wajah gadis tersebut.

"Lin! Hey!" sapanya dan langsung memeluk gadis tersebut begitu erat.

Napas gadis itu terdengar tak beraturan karena berlari cukup jauh tadi dan sekarang dia semakin susah untuk menghirup oksigen karena pelukan Siska yang sangat kencang.

"Hey, lepaskan! Kau ingin membunuhku!" Gadis bernama Lin itu memukul dengan brutal punggung Siska hingga akhirnya pelukan sepihak itu terlepas.

Siska menampilkan cengiran dengan raut tanpa dosa, seolah tak melakukan kesalahan sama sekali. "Maafkan aku, aku terlalu senang melihatmu setelah lima tahun kita berpisah," ungkap Siska.

Lin hanya membalasnya dengan decakan. Napasnya masih terdengar memburu. Gadis itu membungkuk, menumpukan kedua tangan pada lutut dan berusaha menetralkan kembali napasnya.

Siska dapat melihat dengan jelas bulir-bulir keringat yang membasahi kening mulus milik Lin. Cuaca hari ini cukup panas terlebih matahari sudah berada tepat di atas ubun-ubun. Jadi, wajar bila orang yang beraktivitas di ruang terbuka berkeringat dibuatnya.

"Kau sudah merasa sedikit lebih baik?" Siska bertanya dengan sedikit membungkuk.

"Ya, sudah lebih baik dari tadi." Lin kembali berdiri tegak. Siska juga kembali menegakkan tubuhnya.

Lin mengibaskan telapak tangan di depan wajah, merasa gerah berada di bawah sinar matahari langsung. Tanpa banyak bicara dia langsung menarik Siska menuju cafe yang tadi disinggahinya, jaraknya tak bisa dibilang dekat.

Keduanya masuk dan langsung diterpa rasa dingin dari Ac yang terpasang di beberapa titik ruang tersebut. Mereka memutuskan duduk di meja paling pojok yang berhadapan langsung dengan sebuah jendela kaca berukuran besar yang memperlihatkan aktivitas jalanan di luar sana.

Setelah memesan minuman, kedua gadis itu kembali melanjutkan obrolan yang sempat tertunda. Saling melempar pertanyaan yang memenuhi pikiran. Serta saling menyalurkan rasa rindu yang terpendam selama satu lustrum lamanya.

"Kapan kau kembali dari Amerika?" tanya Siska. Setelah lulus SMA dia dan Lin berpisah karena Lin pergi ke Amerika untuk melanjutkan pendidikannya. Hari keberangkatan Lin merupakan hari terakhir keduanya bertemu.

"Kurang lebih dua tahun lalu," jawab Lin dengan tatapan yang lurus ke luar jendala, memperhatikan kendaraan yang melintas.

"Kenapa tak mengabariku?" Siska menatap lekat gadis yang duduk berhadapan dengannya itu.

Lin mengalihkan pandangannya saat mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Siska. Netranya menatap lurus, menatap teduh penuh kerinduan pada sang sahabat lama.

"Hari kedua setelah kepulanganku ke Indonesia, aku langsung berkunjung ke rumah lamamu, tapi kata tetangga kau sudah pindah. Nomor telpon lamamu juga tak aktif. Aku ingin mencarimu, tapi aku juga sibuk merintis usaha bersama kekasihku. Maaf." jawab Lin seraya mengembuskan napas berat.

"Tidak apa, aku paham. Aku memang pindah ke sebuah kontrakan kecil karena rumah lamaku disita oleh bank setelah ayah dan bunda meninggal. Saat itu juga aku tahu jika keluargaku memiliki utang pada bank, bukan hanya itu ternyata mereka juga memiliki utang pada rentenir. Sampai sekarang utang itu tak kunjung lunas karena bunganya yang terlalu besar. Soal nomorku yang tak aktif, itu karena ponselku yang dulu diambil oleh perampok." Siska menceritakan semaunya dengan raut wajah sedih.

Lin ikut prihatin mendengar cerita Siska. "Aku turut berduka cita atas meninggalnya kedua orang tuamu," ujar Lin.

"Aku bisa membantumu melunasi utang-utang itu dan memberikan modal untuk membangun usaha. Kebetulan brand fashion yang aku rintis bersama kekasihku kini telah sukses dan meraup untung yang sangat besar. Apakah kau mau?" tawar Lin.

Keadatang seorang pelayan yang membawa dua gelas minuman mampu mengalihkan pandangan mereka. Siska mengucapkan terima kasih, pelayan itu hanya tersenyum dan mengangguk lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.

Siska kembali beradu tatap dengan Lin, menepuk beberapa kali punggung tangan gadis itu yang berada di atas meja. "Selamat atas kesuksesanmu, aku bangga punya sahabat sepertimu," puji Siska seraya tersenyum, mencoba menepis rasa sedih yang tadi sempat melingkupi diri. "Sebelumnya terima kasih atas tawarannya, tapi sungguh, aku tidak bisa menerimanya," lanjut Siska yang menolak tawaran Lin secara halus.

"Ah, terima kasih pujiannya. Tak apa kau menolak tawaranku, tapi bisakah aku membantu sesuatu? Kau telah banyak berjasa padaku dulu, kini waktunya aku membalas semua kebaikanmu." Lin masih ingat jelas seberapa baiknya Siska saat mereka masih berada di bangku sekolah menegah atas. Saat itu Siska yang selalu mengajari Lin jika ada pelajaran yang tak dipahaminya, selalu menjadi pendengar dan pemberi nasihat terbaik, serta mau menemani Lin saat kedua orang tua Lin sibuk bekerja.

Siska berpikir sejenak, mencoba menimbang-nimbang akan meminta bantuan apa pada sahabatnya itu. Siska tersenyum tipis lalu berkata, "bantu aku mencari lowongan pekerjaan saja bagaimana? Saat ini aku sangat butuh pekerjaan karena baru saja dipecat ."

"Baiklah. Ngomong-ngomong kenapa kau bisa sampai dipecat?" Lin mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan.

"Salah satu karyawan memfitnahku mencuri uang pendapatan cafe, aku tak tahu kenapa dia melakukan itu. Awalnya atasan kami tak percaya karena aku sudah bekerja di sana kurang lebih empat tahun dan selalu jujur---"

"Terus apa yang terjadi selanjutnya?"

"---karyawan itu meminta atasan kami untuk mengecek tas yang biasa aku bawa ke tempat kerja dan ya, kami menemukan puluhan lembar uang di dalam tasku. Aku sendiri bingung kenapa uang-uang itu berada di dalam tasku. Atasan tetap memecatku meskipun, aku sudah menjelaskan semuanya, tapi dia tetap tak percaya." Siska mengakhiri ceritanya.

"Sabar, Ka, dunia kerja kadang sesadis itu. Orang yang sudah kau anggap teman sendiri kadang berusaha menyingkirkanmu saat dia merasa terancam." Lin mengeluas pelan punggung tangan Siska, mencoba menyalurkan sedikit tenaga pada gadis rapuh tersebut.

"Iya, Lin."

"Hmm ... sepertinya aku tahu satu lowongan pekerjaan dengan gaji yang lumayan untukmu," tutur Lin yang membuat Siska langsung menatapnya dengan mata berbinar penuh harap.

"Apa?"

"Besok datang ke rumahku jam tujuh pagi dan aku akan mengantarmu ke tempat kerjanya," ujar Lin. "Kau masih ingat alamat rumahku, bukan?"

Siska mengangguk.

Perbincangan dua gadis cantik itu terus berlanjut. Bahkan keduanya bernostalgia pada kehidupan masa putih abu-abu mereka dulu. Suara tawa yang tak terlalu kencang terdengar di sela-sela obrolan keduanya.