PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Bunga Unguku

Bunga Unguku

Penulis:Indri Purgiyanto

Berlangsung

Pengantar
Arman dan Izzah adalah teman semasa kecil dan sama-sama mengalami kegagalan pernikahan pertama. Arman bercerai karena tidak bisa memiliki anak. Izzah bercerai karena kasus KDRT dan menjadi janda dengan dua anak: perempuan bernama Iswari yang berusia 7 tahun dan laki-laki yang bernama Iswara yang berusia 2 tahun. Ketika keduanya melangsungkan pernikahan, Iswari tiba-tiba tidak setuju, menangis meronta-ronta hingga sesak napasnya kambuh dan dilarikan ke rumah sakit. Izzah pun membatalkan pernikahan mereka tetapi keduanya tetap berhubungan baik. Sayangnya, setelah batalnya pernikahan itu, tekanan sosial terus-menerus dialami oleh keduanya, baik dari keluarga, teman kerja, tetangga, hingga media sosial. Izzah kemudian menghilang bersama kedua anaknya. Arman mencarinya ke mana-mana tapi tak kunjung menemukannya. Keluarga Arman yang terdiri atas 6 kakak tiri beserta pasangannya berinisiatif mencarikan jodoh pengganti untuk Arman. Sayangnya, tidak satu pun gadis yang berhasil merebut hati Arman. Hingga pada suatu hari, Arman bertemu remaja perempuan yang cantik, jujur dan pekerja keras. Arman tertarik padanya dan menjadikannya mitra kerja. Ternyata, gadis itu adalah Iswari, anaknya Izzah.
Buka▼
Bab

Aku sudah mengenakan kemeja putih, dasi hitam dengan aksen garis abu-abu, jas hitam dan celana hitam panjang yang senada dengan sepatuku. Sekuntum bunga mawar putih yang berdaun dua tersemat di bagian kiri kerah jas. Sebuah sapu tangan putih yang dibentuk segitiga menyembul dari saku jas yang kukenakan.

Hari ini aku akan menikahi Izzah. Dia adalah perempuan yang pertama kali menghuni hatiku setelah ibu dan satu-satunya kakak tiri perempuanku. Dulu aku memperlakukannya seperti adik kandung. Namun, seiring berjalannya waktu, ada getar-getar tak biasa dalam hatiku. Aku baru menyadarinya di usia 15 tahun. Pada saat itu, Izzah masih duduk di bangku kelas satu.

Aku menunggunya tumbuh remaja. Aku memelihara cinta ini meski kami tinggal terpisah. Dia di Desa Tayapetak, di kaki Gunung Muria, sedangkan aku di Kota Semarang. Ketika usianya 16 tahun, aku memberanikan diri melamarnya. Saat itu, undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah UU no.1 tahun 1974 yang menetapkan usia 16 tahun sebagai batas minimal menikah bagi perempuan. Sayangnya, dia sudah merantau ke sebuah SMA berasrama di Yogyakarta. Orangtuanya memintaku menunggunya lulus atau aku batalkan saja lamarannya. Tentu saja aku memilih menunggunya.

Satu tahun berlalu. Aku kembali mengunjungi rumah orangtuanya di Hari Sabtu. Saat itu musim libur sekolah dan aku pun libur kerja. Kupikir itu akan menjadi saat yang membahagiakan. Ternyata, aku salah. Dia duduk berdua dengan seorang laki-laki seusianya. Tatapannya mesra. Aku tak cukup berani merusak kebahagiaan mereka. Namun, aku tak menyerah.

Aku tak mencabut lamaranku. Aku masih menunggu dan mengawasi Izzah bertahun-tahun. Akhirnya Izzah putus dengan laki-laki itu di usia 22 tahun. Kupikir itu kesempatanku untuk merebut hatinya. Ternyata, ayahku menjodohkan dengan Sharma, temanku sejak TK hingga SMA.

Ayah kami memang bersahabat baik. Namun, tak ada sahabat baik dalam bisnis. Ayah Sharma tak mau memberikan hak patennya untuk perusahaan farmasi milik ayahku. Akhirnya aku dijodohkan untuk membantunya memperoleh pengalihan hak paten itu. Untunglah berhasil. Sampai kini, perusahaan ayahku semakin berkibar di negeri ini.

Rumah tanggaku dan Sharma tidak bahagia. Dia menikah denganku demi ayahnya dan demi mematahkan julukan perawan tua. Hampit tidak ada romantisme dalam pernikahan kami berdua. Dia sibuk dengan karirnya sebagai dokter spesialis kandungan. Aku harus memaksanya berhubungan demi mendapatkan anak. Namun, setelah dia hamil lalu keguguran pertama kali, yang tersisa di hatinya hanya rasa benci. Bertahun-tahun lamanya aku selalu berusaha mempertahankan rumah tangga kami. Sayangnya, di tahun ke-10, rumah tangga ini harus kami akhiri.

Pada tahun ke-10 itu, aku tak sengaja bertemu lagi dengan Izzah. Dia juga sedang bermasalah dengan rumah tangganya setelah mengetahui suaminya memiliki istri dua. Dia memutuskan bercerai tapi dihalangi mengambil hak asuh anak-anaknya. Untunglah, dengan bantuanku dan kakakku, hak asuh kedua anak Izzah itu berhasil direbut.

Kini, aku duduk di teras rumah ini. Rumah yang pernah menjadi saksi kepedihanku melamar Izzah pertama kali. Rumah yang dulu kukunjungi setiap tahun sekali. Rumah seorang perempuan yang dulu kuanggap adik lalu berubah menjadi kekasih.

“Bagaimana ini? Apakah akadnya bisa dimulai sekarang?” Penghulu nikah bertanya padaku sambil melihat jam tangannya. Waktu menunjukkan 08.15, sudah terlambat 15 menit dari jadwal yang seharusnya. Namun, calon bapak mertuaku, yang juga sahabat ibuku dulu, tak kunjung muncul.

“Tunggu sebentar, Pak. Saya mohon.” Aku mengiba.

Penghulu itu menarik napas dalam-dalam. Ia terlihat gelisah. Lebih-lebih aku. Semua laki-laki yang duduk di teras dan halaman memandangku. Para laki-laki yang terlibat dalam pernikahan ini memang disediakan tempat di luar rumah. Adapun para perempuan berada di dalam rumah. Mereka duduk di ruang tamu, ruang tengah hingga dapur dan kamar. Memang begitulah adat di Desa Tayapetak.

“Maaf, Mas Arman, ini saya ada acara pernikahan di tempat lain juga,” kata penghulu nikah. “Apakah sebaiknya ayah mempelai wanita dipanggil saja di dalam rumah?”

Aku menoleh ke kakak-kakakku untuk meminta persetujuan. Mereka berlima mengangguk sebagai tanda mengiyakan. Aku pun beranjak.

“Baiklah, Pak. Saya akan panggil beliau.”

Aku berdiri, berjalan sambil membungkukkan badan demi menghormati para tamu undangan. “Amit

permisi

, Pak,” ucapku sambil tersenyum pada mereka. Setiap laki-laki yang kulewati tersenyum dan mengangguk sebagai tanda hormat.

Begitu sampai di pintu, Mbak Mutia, kakak iparku yang kedua mencegatku. “Jangan masuk, Man! Di dalam sedang terjadi keributan.”

“Keributan apa, Mbak?” tanyaku heran.

“Pokoknya keributan. Kamu tunggu saja di luar.”

“Tapi, penghulunya nggak bisa menunggu, Mbak.”

Aku menerobos masuk dan melewati pra perempuan yang duduk lesehan sambil bersandar di dinding.

“Amit, Bu, Mbak,” ucapku ketika berjalan sambil membungkukkan badan.

“Man, jangan.” Mbak Mutia menarik-narik jasku.

Aku tak peduli. Aku terus berjalan melintasi ruang tamu, ruang tengah dan akhirnya tiba di kamar pengantinku. Di dalamnya ada calon bapak mertuaku dan beberapa wanita. Ada Izzah tentu saja. Dia memeluk Iswari, anak pertamanya yang berjenis kelamin perempuan, yang sedang menangis sesenggukan. Di samping kanan Izzah ada calon ibu mertuaku. Beliau dulu sangat membenci ibuku dan anak-anaknya, termasuk aku. Namun, sejak beliau memberi restu untuk pernikahanku dengan Izzah, aku tidak lagi mempermasalahkannya. Di situ ada juga Mbak Nita, kakak iparku yang pertama, yang sejak awal menentang hubunganku dengan Izzah. Dia telah melakukan cara-cara licik untuk menakut-nakuti Izzah tapi selalu bilang sekadar bercanda dan menguji cinta jika ketahuan.

Mereka semua berfokus melihat dan menenangkan Iswari yang masih menangis sesenggukan. Gadis kecil berumur 7 tahun itu memeluk ibunya erat dan seolah tak ingin melepaskannya. Mbak Mutia memberi isyarat supaya aku pergi saja. Namun, aku memilih keras kepala.

“Zah, dia kenapa?” Aku menunjuk ke Iswari.

Semua orang tersentak melihatku berdiri di ambang pintu kamar. Mereka saling berpandangan dan terlihat kebingungan. Mbak Mutia berusaha menarikku ke luar tapi tenaganya tak cukup kuat.