PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Love You Dear

Love You Dear

Penulis:Lintang Aksara

Berlangsung

Pengantar
Sebuah kisah dari seorang anak pungut yang dirawat dan dibesarkan oleh seorang pasangan suami istri bernama Sarmidi dan Yanti. Akan tetapi, ia tak pernah mengetahui bahwa dirinya adalah anak pungut. Hingga pada suatu saat ketika usianya memasuki anka dua belas tahun, Kirana mengetahui rahasia besar yang di sembunyikan oleh Sarmidi. Hubungan kekeluargaannya hancur seketika. Semua benci kepada Kirana, kecuali Sarmidi. Lalu, suatu saat Kirana memutuskan untuk pergi ke sebuah kota. Bertemulah dirinya dengan sosok laki-laki ramah, penyayang, dan baik hati. Bagaimana kelanjutan ceritanya? Mari baca novel terbaruku ini. Selamat membaca
Buka▼
Bab

Aku ...

Tetap memanusiakan manusia

Meski sakit menjalar kemana-mana

Biarlah aku yang menjadi figuran tak berdaya

Sedang kamu?

Tetaplah menjadi peran utama

Karena pada dasarnya ...

Rasa ini sudah terlampau asing

Hanya untuk sekadar bersanding

Ruang Rindu, 17 Oktober 2014

“Pak! Pak Sarmidi!”

Terdengar beberapa teriakan warga yang menyebutkan nama Pak Sarmidi. Mereka terlihat sangat tergesa-gesa.

“Ada apa ini?”

“Itu, Pak ... Shinta jatuh di perempatan desa.” Seorang laki-laki bertubuh gempal menjelaskan dengan napas yang terengah-engah.

Pak Sarmidi yang mendengar kabar tersebut tentu sangat terkejut. Pasalnya, beberapa menit yang lalu, anaknya—Shinta—baru saja keluar membawa motor dengan marah-marah. Ia kesal dengan Pak Sarmidi karena beliau belum bisa membelikannya ponsel baru.

“Bapak nyamperin adikmu dulu, ya, Nduk. Kamu tunggu di rumah saja! Semoga adikmu kondisinya tidak parah,” ucap Pak Sarmidi kepada kakaknya Shinta.

Dia adalah Kirana Anugrah. Si gadis desa yang hidup dengan sederhana. Tinggal di sebuah rumah yang terbilang kecil, berdinding kayu, dan beratap genting yang sebagian sudah mulai bolong-bolong. Kebanyakan orang mengenalnya sebagai anak yang pendiam dan penurut. Beda sekali dengan adiknya, Shinta Amalia. Meskipun usia Shinta terbilang masih sangat muda, ia lebih aktif dan memiliki potensi besar dalam hal apapun. Didukung juga oleh paras wajahnya yang sangat cantik dan manis. Sayangnya, ia adaah sosok yang begitu manja.

Ingin sekali rasanya Kirana membantu Pak Sarmidi. Namun, kedua kakinya sudah tak mampu lagi untuk melangkah. Berat menjalar ke seluruh tulang-tulangnya. Setiap saat hanya bisa duduk di kursi kayu yang sisi-sisinya sudah digerogoti oleh rayap.

Hanya Pak Sarmidi satu-satunya orang yang selalu menjadi sumber semangat Kirana. Dengan bantuan tongkat dari bambu seadanya, beliau selalu melatih Kirana untuk berjalan kembali. Setiap hari, setiap pagi, dan setiap saat jika beliau libur dari aktivitas jualannya.

***

Kilau cahaya dari matahari kian menyengat. Di dalam gedung yang lumayan besar itu, tampak orang-orang berseragam putih sedang sibuk mondar-mandir keluar masuk ruangan. Memeriksa satu per satu pasien yang datang.

“Jangan diulangi lagi, ya, Nduk! Lebih berhati-hati lagi saat mengendarai sepeda motor. Supaya tidak ada kejadian seperti ini lagi.”

“Bapak ini gimana sih?! Anaknya kecelakaan kok malah dimarahi!” protes Shinta dengan wajah yang semakin kesal.

“Bukannya Bapak marah, Nduk. Hanya mengingtkan, supaya ke depannya kamu bisa lebih hati-hati lagi,” terang Pak Sarmidi dengan nada yang rendah.

Di samping sikapnya yang manja, Shinta juga mudah tersinggung. Apalagi jika ada pendapat seseorang yang bertentangan dengan pendapatnya. Pasti raut wajahnya akan otomatis berubah seperti nenek lampir, jutek dan tak acuh.

Setelah mendapat penanganan dan obat dari dokter, Pak Sarmidi dan Shinta segera pulang. Untung saja, sepeda motor yang digunakan oleh Shinta tidak mengalami kerusakan. Jadi, mereka bisa menggunakan sepeda motor tersebut untuk bisa sampai di rumah dengan cepat.

Sepanjang jalan, hanya keheningan yang tersedia. Bukan karena sedang mengheningkan cipta, tetapi Pak Sarmidi lebih memilih untuk diam, fokus menyetir sepeda motor.

“Masih marah dengan Bapak, Nduk?” Tiba-tiba suara Pak Sarmidi memecah keheningan. Shinta yang mendengar pertanyaan itu segera melirik ke kaca spion. Walaupun suaranya agak mengabur.

“Memangnya kalau Shinta masih marah, Bapak akan membelikan Shinta handphone?”

Dalam keadaan seperti itu, Shinta tak berubah sedikit pun. Sikap jutek masih saja melekat dalam dirinya. Padahal, sudah baik Pak Sarmidi tidak memarahinya balik.

***

Hari sudah semakin gelap. Di depan teras rumah sederhana, Kirana tampak cemas menunggu kepulangan adik dan bapaknya. Lalu, setelah beberapa menit kemudian, deru sepeda motor Pak Sarmidi terdengar ke telinga Kirana.

“Kamu baik-baik saja kan, Shinta? Tidak ada yang parah kan?” cerocos Kirana dengan raut wajah yang masih panik.

Alih-alih menjawab pertanyaan kakaknya, Shinta justru langsung berjalan masuk tanpa menghiraukan pertanyaan Kirana.

Kirana tertegun beberapa saat melihat sikap dingin adiknya. Padahal, Kirana benar-benar khawatir akan keadaan Shinta. Beruntunglah ada Pak Sarmidi yang menenangkan pikiran Kirana.

“Adikmu baik-baik saja, Nduk. Tapi ... ya, begitulah sikapnya,” ujar Pak Sarmidi sembari mengusap kepala Kirana dengan lembut.

Kirana tersenyum tipis, masih ada rasa perih yang menyayat hatinya.

“Ayo kita masuk! Sudah hampir Maghrib,” ajak Pak Sarmidi yang kemudian menuntun Kirana untuk memasuki rumah.

Azan Maghrib sudah berkumandang di seluruh penjuru desa. Banyak anak-anak kecil yang bersemangat untuk berangkat ke masjid. Pemandangan seperti ini sangat jarang terjadi di daerah-daerah lain. Apalagi di daerah perkotaan. Hampir tidak ada anak-anak yang bersemangat untuk pergi salat Maghrib dan mengaji Al-Qur’an. Hanya tiga hingga tujuh orang dewasa saja yang mengisi barisan pertama dalam salat.

“Kirana ... Shinta ... Bapak berangkat ke masjid dulu, ya. Sekalian nanti mengajar ngaji,” pamit Pak Sarmidi dari luar kamar Shinta dan Kirana.

Pak Sarmidi adalah seorang guru mengaji yang sangat sabar. Beliau sudah menjadi guru mengaji di desa tersebut sejak belum menikah dengan Bu Yanti.

Kirana dan Shinta memang tidak bisa ikut berjamaah ke masjid saat itu. Disamping karena kaki Kirana yang masih susah digunakan untuk berjalan, badan Shinta juga masih terasa sakit akibat kecelakaan kala itu. Akan tetapi, sebenarnya mereka berdua adalah anak-anak yang rajin pergi berjamaah dan mengaji sejak kecil.

***

Di depan sebuah masjid yang luas halamannya, tampak beberapa anak-anak yang tengah berkejar-kejaran. Moment seperti ini menyimpan kebahagiaan tersendiri untuk anak-anak seperti mereka.

“Ayo anak-anak, kita masuk semua!” teriak Pak Sarmidi dari serambi masjid.

Anak-anak pun segera melaksanakan himbauan dari Pak Sarmidi. Mereka adalah anak-anak yang sangat penurut. Mungkin hanya ada beberapa yang terlihat menonjol dalam hal kenakalan. Akan tetapi, hal itu memanglah wajar untuk anak seusia mereka. Kenakalan yang mereka lakukan juga hanya sebatas menjahili teman ataupun bertengkar karena berebut sesuatu.

Kegiatan mengaji segera dimulai oleh Pak Sarmidi. Lantunan surah Al-Fatihah juga sudah terdengar menggema di dalam masjid. Sungguh suasana seperti ini membuat Pak Sarmidi teringat akan memori-memori semasa kecilnya dahulu.

Kegiatan mengaji di masjid itu tidak hanya sekadar belajar membaca Al-Qur’an saja, tetapi Pak Sarmidi biasanya berinisiatif untuk menyelipkan cerita-cerita islami di akhir pertemuannya. Anak-anak juga sangat senang melihat dan mendengarkan gaya bercerita Pak Sarmidi. Pasalnya, dengar-dengar memang Pak Sarmidi itu memang sangat mahir sekali dalam kegiatan mendongeng. Keahlian ini menurun kepada anaknya, Shinta. Semasa Shinta baru berumur delapan tahun, dia suka sekali membantu Pak Sarmidi untuk menceritakan sebuah dongeng untuk anak-anak di tempat mengajinya.

“Mbak Shinta ke mana, Pak? Sudah lama sekali aku tak melihat Mbak Shinta mendongeng lagi,” celetuk salah seorang murid mengaji yang bernama Firda.

“Mbak Shinta sedang sakit, Nduk. Doakan supaya cepat pulih, ya.”

Setelah 45 menit berlalu, kegiatan mengaji pun sudah selesai. Anak-anak pun bergantian menyalami Pak Sarmidi. Lalu, berhamburan ke luar masjid.