PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Love Me

Love Me

Penulis:Dhini_senja

Berlangsung

Pengantar
Andini Levari, gadis kecil yang ditinggalkan kedua orang tuanya sejak berusia 7 tahun. Diasuh oleh paman dan bibinya yang hobi berjudi. Hingga suatu hari sang paman tetlilit hutang ratusan juta kepada seorang pengusaha di kota. Dengan berbagai cara mereka mencoba melunasi hutang yang semakin bertambah akibat bunga yang tinggi, hingga sang pengusaha memberikan penawaran, si gadis kecil menjadi miliknya dan hutang lunas. Bertahun-tahun ia tinggal bersama sang pengusaha, hidup bahagia tanpa ada lagi siksaan dan air mata. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, si pengusaha kaya raya tewas dalam sebuah kecelakaan tunggal. Tidak memiliki keluarga di kota besar, terpaksa harus tinggal di panti asuhan. Setidaknya, itu lebih baik daripada tinggal di kolong jembatan atau di rumah pamannya. Bersekolah dan bermain bersama keluarga barunya, tak ada yang spesial menurutnya. Beranjak diusia tujuh belas, ia harus berpikir menghasilkan uang dan untuk masa depannya. Bekerja di minimarket sepulang sekolah ia jalani. Hingga, ia bertemu dua mahasiswa yang membuat hancur masa depan yang diimpikannya. Kehamilan yang tidak diinginkan mengharuskan ia bersembunyi dari dunia
Buka▼
Bab

“Jangan pergi, Bu! Nanti Ava dengan siapa? Ayah sudah pergi, kenapa Ibu juga harus pergi?” tangis gadis kecil itu pecah ketika wanita yang telah melahirkannya hendak pergi.

“Ibu harus pergi! Kau, tetaplah disini. Jika sudah memiliki banyak uang, ibu akan segera kembali untuk menjemputmu.” Jawab sang ibu. Tak ada lagi air mata ketika menitipkan anaknya kepada Baskoro, adiknya.

“Tapi, Bu ... ”

“Sudah, jangan membantah! Air matamu tidak akan merubah keputusanku.” Tekadnya sudah bulat untuk bekerja di kota.

Ia lelah. Hanya karena berasal dari keluarga miskin mertua dan saudara-saudara suaminya selalu menghina, bahkan merendahkan harga dirinya.

Teringat ketika ia melahirkan Ava, anak semata wayangnya, tak ada sambutan hangat layaknya menyambut anggota keluarga baru. Justru mereka mengatakan ia hanya mendatangkan benalu baru untuk suaminya. Ya, ia hanya dianggap benalu.

Andra, suami sekaligus ayah dari putrinya juga enggan untuk membela di depan keluarga besarnya. Ia hanya diam menyaksikan istrinya mendapat perlakuan buruk dan kasar dari keluarganya.

Saat Putri mereka berusia empat tahun, ia merantau keluar pulau. Meninggalkan anak dan istrinya, tak pernah memberi kabar ataupun mengirimkan uang. Ia hilang bagaikan ditelan bumi.

“Apakah Ibu sudah tidak menyayangiku lagi?” Tanya Ava, membuyarkan lamunan ibunya.

“Ibu sangat menyayangimu! Karena itu ibu harus bekerja agar memiliki banyak uang,”

“Kenapa harus pergi? Ibu bisa bekerja di sawah milik nenek!”

“Ingat, Nak! Jangan mengharapkan apapun dari keluarga ayahmu. Bagi mereka, kita hanyalah parasit.” Hatinya selalu sakit jika mengingat semua perlakuan buruk keluarga suaminya.

Entahlah apakah masih pantas ia disebut suami. Tekadnya sudah bulat untuk bekerja dan mencari ayah putrinya itu. Bukan untuk hidup bersama lagi, tetapi untuk meminta diceraikan. Baginya, ia berhak bahagia dengan status yang jelas.

Ia berharap suatu saat nanti akan ada laki-laki yang menerima dirinya tanpa melihat status sosial dan juga mau menerima putrinya.

“Nak, dengarkan ibu baik-baik, jangan membantah perkataan paman dan bibimu. Ibu akan mengirimkan uang setiap bulan untuk biaya hidupmu di sini. Dia adik ibu, pasti akan menyayangimu. Apa kau mengerti?” Meskipun ragu dengan perkataannya sendiri, ia mencoba meyakinkan hatinya.

Menitipkan anaknya kepada Baskoro memang bukanlah pilihan yang baik. Sifat adiknya yang keras dan kasar membuatnya ragu. Tetapi, tak ada pilihan lain. Ia sudah tidak memiliki keluarga lagi di kampung ini. Kedua orang tuanya sudah meninggal setahun yang lalu.

“Kapan Ibu akan datang menjemputku?” Ava mencoba memastikan. Ia sudah tidak menangis lagi. Sebanyak apapun ia mengeluarkan air mata, tidak akan merubah keputusan ibunya.

“Secepatnya, Nak! Tetaplah bersama pamanmu sampai Ibu kembali.”

“Baiklah, Bu.” Ava mencoba tegar walau hatinya menjerit. Di usia yang masih belia, ia sudah harus berfikir dewasa. Memahami apa itu perpisahan.

Menoleh kepada adiknya, “Baskoro aku titipkan Ava padamu. Tolong jaga dan Sayangi dia seperti anakmu sendiri,” pintanya.

“Tenanglah, Kak. Aku akan menjaganya karena dia keponakanku. Apa selama ini kau pikir aku tidak menyayanginya? Walaupun aku ini seorang pemabuk tapi aku masih punya hati.” Dusta Baskoro.

“Maaf. Aku tak bermaksud untuk meragukanmu. Hanya saja .... ”

“Sudahlah, tak apa. Aku mengerti. Sekarang pergilah, mobil jemputan mu sudah datang. Percayakan anakmu padaku,” mencoba meyakinkan kakaknya agar segera pergi.

Mengecup kening anaknya, mencoba tegar walau hatinya perih. Ini pertama kali dalam hidupnya harus jauh dari buah hatinya, setelah sekian tahun hidup bersama dalam suka dan duka.

Tak mau air matanya tumpah dihadapan sang anak, ia bergegas pergi tanpa menoleh lagi.

' Ibu akan segera kembali untuk membahagiakanmu,' batinnya.

Kini, ibunya telah pergi, Ava merasa hidupnya telah Hampa.

Tak ada lagi pelukan hangat dikala ia kedinginan. Tak ada lagi tangan kasar milik ibunya yang akan menghapus air matanya ketika ia menangis.

“Ibu ....” tangisnya kembali pecah meski ia sudah berusaha menahan nya.

“Hei, apa yang kau tangisi?” hardik Baskoro

“I ... i ... ibu pergi paman,” jawabnya sembari mengusap air mata.

“Dasar cengeng! Sana belikan rokok. Setelah itu kau bersihkan rumah. Cuci semua pakaian dan piring kotor. Ingat, harus bersih jika tak ingin bibi Vera memukulmu.”

Baskoro mulai memerintah. Tak ada rasa sayang apalagi kasihan. Selama ini, ia hanya bersandiwara, bersikap baik di depan kakaknya saja.

Dengan kepergian kakaknya untuk bekerja, tentu saja pundi-pundi rupiah akan datang padanya tanpa perlu bekerja. Biaya hidup Ava hanya kedok baginya. Ia juga akan menyuruh anak itu bekerja untuk menambah kebutuhan hidupnya dan juga istrinya.

Selama ini, Baskoro hanya berpura-pura baik. Dia sangat membenci kakaknya. Uanglah yang membuat ia selalu bersandiwara. Bersikap seolah malaikat, tetapi di belakang itu bagaikan iblis. Tak jarang juga dia memukul keponakannya itu.

Kebencian itu bermula ketika Baskoro menjalin cinta dengan gadis tetangga kampungnya. Lita, si kembang desa. Parasnya yang ayu khas gadis desa, membuat banyak lelaki menaruh hati padanya. Tak sedikit pula yang datang ingin meminangnya.

Tetapi, Lita justru menaruh hati kepada Baskoro, pemuda alim anak petani miskin.

Melihat banyak pemuda yang ditolak lamarannya oleh sang anak, orang tua Lita mendesak agar Baskoro segera menikahi anaknya. Karena, menurut kepercayaan di kampung mereka, gadis yang menolak lamaran lebih dari tiga kali, dipastikan akan menjadi perawan tua perawan tua. Tak akan menikah seumur hidupnya. Tentu saja mereka tak mau hal itu terjadi kepada anaknya.

“Kapan kau akan melamar anakku?” tanya Ayah Lita ketika Baskoro datang berkunjung ke rumah si pujaan hati.

“Se ... secepatnya, Pak,” jawab Baskoro ragu.

“Saya butuh kepastian.”

Baskoro Bimbang, dia belum memiliki uang untuk melamar.

“Saya berikan waktu sebulan, jika kamu tidak datang membawa seserahan seratus juta, saya akan menikahkan Lita dengan pemuda dari kota,” sambung Ayah Lita.

“Se ... se ... seratus juta?” Baskoro tercekat, jangankan seratus juta, seratus ribu saja ia harus bekerja sehari penuh sebagai buruh bangunan untuk mendapatkannya.

“Ya, seratus juta ,” tegasnya.

“Tapi saya tak punya uang sebanyak itu.”

“Bukankah orang tuamu memiliki tanah di perbatasan desa? Kau bisa menjual tanah itu. Harganya pasti mahal,” ayah Lita memberi ide.

Baskoro yang cinta mati kepada Lita, tanpa berpikir dua kali menyanggupi permintaan itu. Dia yakin orang tuanya pasti setuju untuk menjual tanah itu. Karena selama ini kedua orang tua, terutama ibunya, selalu berusaha memenuhi permintaannya, walaupun di tengah keterbatasan biaya hidup.

Ia pamit dan berjanji akan segera datang untuk melamar.

Sepanjang perjalanan pulang, Baskoro memikirkan Bagaimana cara ia menyampaikan keinginannya itu.

Tekadnya sudah bulat, dia harus memiliki Lita.

“Pak, Buk ... Baskoro akan melamar Lita,” ungkapnya pagi itu kepada orang tuanya yang hendak berangkat ke sawah milik juragan Basri.

“Apa apa kau punya uang? Menikah itu butuh biaya besar,” tanya ibunya

“Itulah yang ingin aku bicarakan, Buk!

“Apa itu, Nak?”

“Ayah lita memberi waktu sebulan untuk mengumpulkan uang.”

“Lalu?”

“Ayah Lita meminta mahar seratus juta.”

“Apa? seratus juta?” pekik ayahnya. “Dari mana uang sebanyak itu?”

“Jual saja tanah bapak yang di perbatasan desa,” ujar Baskoro santai sembari menyeruput kopi hitam.

Ayah Baskoro yang tahu bahwa Ayah Lita mata duitan, menolak permintaan anak bungsunya itu.

”Dengar Baskoro, tanah itu milik kakakmu. Bagianmu adalah rumah ini. Jangan pernah berpikir untuk menjualnya,” tolak ayahnya.

“Kalau begitu, jual saja rumah ini,” Baskoro masih teguh dengan keinginannya.

“Kau boleh menjualnya jika bapak dan Ibu sudah meninggal. Ayo, Bu, kita hampir terlambat ke sawah. Jangan buat juragan Basri marah, walaupun dia besan kita.

Mereka meninggalkan Baskoro yang termenung di teras rumah.

Hati Baskoro gelisah. Dia tak mau kehilangan Lita. Dia harus mendapatkan uang bagaimanapun caranya. Masih ada acara, dia akan meminta bertukar warisan dengan kakaknya. Rumah menjadi milik kakaknya dan tanah di perbatasan desa menjadi miliknya, lalu ia akan menjual tanah itu tanpa sepengetahuan orangtuanya.

Dengan motor tuanya, Baskoro bergegas ke rumah juragan Basri, mertua Elsa, kakaknya. Semenjak menikah Elsa dan suaminya memang tinggal di sana.

Begitu tiba di halaman megah milik juragan Basri, ia disuguhkan pemandangan yang tak mengenakkan.

Kakaknya yang tengah hamil tua diusir oleh mertua perempuannya. Cacian dan makian dilontarkan oleh wanita paruh baya itu.

Penampilan kakaknya sungguh sangat menyedihkan. Pipinya lebam, mata bengkak dan rambut acak-acakan. Bahkan pakaiannya tampak sobek di beberapa bagian.

“Apa-apaan ini? Apa yang Anda lakukan? Teriak Baskoro.

Mertua Elsa mendelik, tatapan matanya menunjukkan ketidaksukaan yang sangat kepada menantunya itu.

“Mau apa kau kesini? Mau minta uang sama kakakmu? Dasar keluarga miskin. Hardik mertua Elsa kepada Baskoro.

“Bu, tolong jangan usir saya. Saya janji, apapun yang Ibu perintahkan akan saya kerjakan. Tapi tolong jangan pisahkan calon anakku dengan ayahnya.” Elsa memohon.

“Saya tidak Sudi punya menantu miskin seperti dirimu. Pergilah!”

“Bu ...”

“Pergi!”

“Tapi saya sedang hamil, Bu. Apakah ibu tidak kasihan kepadaku dan calon cucumu? Setidaknya biarkan aku pergi bersama kang Andra. Aku akan menunggunya pulang dari sawah,” walaupun ia tahu mertuanya sangat membenci dirinya, tetapi Elsa masih mencoba meminta belas kasihan.

Selama ini, Elsa kerap menerima perlakuan kasar dari suaminya. Bahkan, mertua dan saudara-saudaranya juga memperlakukan dirinya layaknya pembantu.

Pernikahannya hanya bahagia di tiga bulan pertama. Setelah itu hanya derita yang ia dapatkan.

“Hei, Baskoro, bawa kakakmu pergi dari rumahku,” perintah mertua Elsa.

Baskoro yang tidak tega melihat kakaknya diperlakukan seperti itu, akhirnya mengajaknya pulang ke rumah orang tua mereka.

“Ayo, Kak!”

Dengan berat hati Elsa terpaksa ikut. Sepanjang jalan ia menangis, meratapi nasib rumah tangganya.

Baskoro yang melihat itu tak dapat berbuat banyak. Dia juga tengah bingung dengan masalahnya sendiri.

Dua minggu berlalu, Elsa melahirkan bayi perempuan yang sangat cantik. Dia memberi nama anaknya, Andini Levari. Ava, adalah panggilan sayangnya.

Suaminya hanya datang sekali saja. Hanya orang tua yang selalu ada disampingnya

Andra hanya menitipkan uang untuk biaya persalinan. Dia seolah tidak peduli dengan kelahiran putrinya.

“Mau kemana, Kang?” Tanya Elsa.

Andra yang ingin segera pergi, berbalik menatap Elsa.

“Pulang ke rumah orang tuaku. Mulai hari ini aku hanya akan mengunjungimu seminggu sekali saja. Itupun jika aku tidak sibuk.”

“Tapi kenapa, Kang? Kita suami istri, jadi seharusnya tinggal bersama!”

“Sudahlah, aku bosan melihat wajahmu. Lagipula ini yang terbaik untukku.”

“Baiklah, jika itu keinginanmu, Kang. Tapi aku harap kau tidak melupakan kewajibanmu. Tak apa jika kau tidak peduli padaku, tapi kau punya kewajiban menafkahi anakmu.”

“Ya!” hanya itu kata yang keluar dari bibir Andra. Ia pergi tanpa melihat wajah putrinya.

Selepas kepergian Andra, Baskoro menghampiri Elsa yang tengah termenung.

“Kak!” panggilnya.

“Ya?”

“Bisa bicara sebentar?”

“Bicaralah.”

“Aku ingin melamar Lita. Tapi ....” Baskoro menggantung ucapannya.

“Tapi kenapa?”

“Ayahnya meminta mahar seratus juta.”

“Sebanyak itu? Apa kau punya uangnya?” Elsa resah, pasalnya uang sebanyak itu tidak mereka miliki. Mereka hanyalah keluarga miskin.

“Karena itulah, tolong jual tanah bagianmu yang di perbatasan desa.”

“Tidak bisa," sergah Elsa.

“Tapi kenapa? Apa kau tidak ingin melihat aku bahagia? Tolonglah! Ayahnya Lita akan menikahkannya dengan pemuda dari kota jika aku tidak membawa mahar itu segera. Sisa dua minggu waktu yang Ayah Lita berikan.” Baskoro mulai terpancing emosi.

“Sertifikat itu ada pada mertuaku. Mereka mengambilnya dariku,” gumam Elsa yang masih didengar adiknya.

“Bagaimana bisa?” teriak Baskoro.

Tangis Elsa pecah. Ia merutuki kebodohannya yang percaya begitu saja ketika juragan Basri meminta sertifikat itu, dengan alasan menyimpannya agar aman.

Setelah memberikannya, ia malah diusir. Meminta kembali sertifikat itu, malah kekerasan yang ia dapatkan.

“Dasar bodoh! Kenapa kau berikan kepada mertuamu yang serakah itu?” maki Baskoro. Dia mulai frustasi, jangan sampai ia gagal meminang kekasihnya.

“Ma ... maaf dek,” sesal Elsa.

“Kalau sampai Lita menikah dengan orang lain, kau harus bertanggung jawab!” ia membanting pintu rumah. Pikirannya kacau. Pupus sudah harapannya.

***

Kabar pernikahan Lita sampai ke telinga Baskoro.

Baskoro yang patah hati memilih mabuk-mabukan untuk melampiaskan sakit hati dan kecewa akibat ditinggal nikah.

Tidak ada lagi Baskoro, pemuda alim nan santun. Yang ada hanya Baskoro, pemuda kasar dan pemabuk.

Rasa benci pada Kakaknya juga semakin menjadi.

Hingga Ia menikah dengan Vera, kebiasaan buruknya tidak juga hilang. Malah semakin menjadi dengan hobi barunya. Judi!