PopNovel

Baca Buku di PopNovel

TAK MAU DIMADU

TAK MAU DIMADU

Penulis:caturrini1005

Tamat

Pengantar
Hadirnya wanita di masa lalu Mas Ilham, merubah segalanya. Merenggut segalanya. Bahagiaku Sirna. Asa hidup berumah tangga sampai tua, haruskah lenyap karena orang ketiga di masa lalu? Bukan aku sudah tidak mencintainya, tapi aku lebih memilih pergi dari pada harus dimadu.
Buka▼
Bab

TAK MAU DIMADU

BAB.1

***

"Dek, Mas mau nikah lagi!" Aku yang tengah duduk di sofa ruang tamu seketika berdiri. Menatap bingung pria yang baru saja melewati pintu depan.

"Ap-apa, Mas?" tanyaku mencoba memastikan. Berharap apa yang baru saja melewati telingaku hanya sebuah kebohongan belaka.

"Mas mau nikah lagi! Titik!" ulangnya bagai petir yang menyambar tepat di ubun-ubunku. Wajah menegang, telinga pun rasanya berdengung mendengar perkataan suamiku yang mendadak.

Nikah lagi? Yang benar saja. Aku bukan wanita yang menentang poligami, silakan siapapun boleh melakukannya, tapi jangan suamiku. Aku nggak mau. Nggak akan pernah mau. Lebih baik pisah dari pada cintanya tak hanya terbagi untuk wanita lain.

"Kok, tiba-tiba? Kita nggak lagi berantem loh, Mas! Kita nggak ada masalah, rumah tangga kita adem ayem, kok!" kataku berapi-api. Sebelum-sebelumnya tidak ada pertanda apapun yang menjurus ke arah sana. Suamiku pun baik, hangat, dan penuh perhatian, seperti biasa. Kami … baik-baik saja. Setidaknya, itu menurutku.

"Pokoknya mas mau nikah lagi!" ulangnya bagai sembilu yang menusuk-nusuk telinga bahkan hati ini. Kurangku apa?

Apa … belum adanya keturunan di antara kami sebagai bibit masalahnya? Tapi, kenapa harus nikah lagi, sih? Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memiliki anak. Adopsi mungkin, itu jauh lebih baik ketimbang dipoligami.

"Gaji aja pas-pasan kok mau nambah lagi. Ini gimana, Mas? Pikir dong! Jangan mau enaknya aja!" Lahar amarah dalam dada kian membumbung.

"Itu bisa dipikir belakangan," katanya sambil bersedekap.

"Belakangan gimana? Perbaiki dulu sikapmu, agamamu, keuanganmu, setelah itu barulah memikirkan menambah istri! Jangan hanya memikirkan enaknya aja, Mas!"

Dia kira bakal enak memiliki dua istri. Kasur, dapur, sumur, bisa digilir seenaknya. Iya kalau adil, kalau condong sebelah, bisa-bisa yang didapat malah kebuntungan.

"Pokoknya, kamu harus siap dimadu!" Dia masih kukuh pada keputusannya. Bahkan, telunjuknya mengarah tepat ke wajahku. Pertama kalinya, pria yang kuhormati selama ini sebagai imam saat salat, kepala keluarga, dan kesabarannya yang patut menjadi teladan, bersikap tak sopan seperti ini.

Aku jadi penasaran, seperti apa wanita yang berhasil merubah sikap lelaki ini.

"Nggak!" tegasku. Dia punya keputusan, aku pun sama.

"Aku sudah bawa calon," ungkapnya semakin membuatku meradang.

"Sayang, ke sini Sayang." Kepalanya menoleh pada pintu.

Sayang? Panggilan yang biasanya membuatku melayang, kini disematkan juga pada si jalang? Benar-benar kurang ajar kamu mas.

Kuikuti arah pandang pria depanku. Terlihat wanita tinggi semampai muncul di sana. Kulitnya putih, bersih, mengkilap bak porselen. Badan lenggak-lenggoknya yang seperti gitar spanyol terpampang nyata karena dress pas badan yang dikenakannya.

"Aduhai." Satu kata itu yang tiba-tiba keluar dari mulutku. Sungguh, melihat siluetnya saja sudah seperti bidadari yang digambarkan di buku-buku dongeng. Aku yang wanita normal pun pasti jatuh hati pada bentuk indah itu.

"Bagaimana? Sempurna bukan?" ucap suamiku bangga. "pilihan siapa dulu, Ilham." Tangannya menepuk-nepuk dada. Begitu bangganya sampai menyebut namanya sendiri.

Mataku mengerjap, jemari pun mengusap-usap netra, wajah sosok bidadari di depan pintu terlihat samar, buram, nyaris tak terlihat.

"Anu, Mas, kok mukanya silau." Netraku memicing, mencoba memperjelas laju pandang. Tetap saja, wajah --yang kata suamiku-- sempurna itu tak terlihat sedikitpun. Mata, hidung, bahkan dagunya, putih. Hanya rambut dan leher ke bawah hingga ujung kaki yang terlihat jelas.

"Ngarang! Jelas-jelas cantik gitu, ya! Bilang aja kamu iri karena kalah jauh! Kamu itu nggak ada apa-apanya dibandingkan dengannya! Dia langsing, kamu … meskipun bisa dibilang nggak gemuk, tapi pipi tembem dan badan berisimu cukup mengganggu mata," katanya tak pedulikan hatiku yang hancur berkeping-keping.

Bagaimana bisa, seorang suami terang-terangan membandingkan istrinya dengan wanita lain. Jahat kamu mas.

"Beneran! Nggak kelihatan itu mukanya, Mas." Aku masih mengusap-usap netra dengan keras. Bagaimana mungkin, mataku yang masih normal mendadak rabun begini?

"Halah! Susah emang ngadepin orang yang iri hati!" ucap suamiku sambil berjalan ke arah selingkuhannya itu.

"Mas! Mau kemana kamu, Mas." Aku berteriak. Namun, pria itu tetap maju tanpa menoleh sedikitpun padaku. Merangkul pinggang ramping kekasihnya, dan melangkah semakin jauh.

"Mas!" Aku masih berteriak. "Mas Ilham!" meraung pun tak ada arti. Sejoli itu sudah tak terlihat lagi.

Aku terduduk di lantai, menyembunyikan wajah yang di banjiri air mata di sela-sela lutut yang tertekuk. Aku tak kuat lagi untuk tidak menangis. Hatiku sakit, perih, luka yang suamiku torehkan begitu dalam hingga diri ini tak mampu menahannya.

"Mas Ilham …!"

***

"Dek, bangun." Badanku terus-terusan berguncang. Perlahan, netra yang tertutup mulai terbuka. Berat, perih, tapi aku harus mencobanya.

"Dek, bangun. Astaghfirullah. Nyebut, Dek," seru Mas Ilham. Samar-samar kulihat lelaki itu masih setia mengguncang-guncang tubuh ini. Mencoba membangunkanku dari tidur. Sesekali menampar pipi, penuh sayang loh agar cepat sadar.

"Astaghfirullah sakit, Mas. Teganya kamu menamparku!" Aku terbangun dengan berderai air mata. Tangan kanan mengusap-ngusap pipi yang kena tampar.

"Enggak usah drama, Dek, orang cuma pelan ya. Lagian, mimpi apa sih sampai nangis sesenggukan begitu? Manggil-manggil nama mas terus lagi," katanya sambil tertawa.

Semua ini gara-gara kamu tahu nggak! Jadi, itu hanya mimpi? Mas Ilham mau poligami, dan wanita itu juga cuma mimpi? Syukurlah jika begitu adanya.

Aku terduduk bersila di ranjang. "Oalah, Mas, aku mimpi kamu bawa calon madu ke rumah ini." Tanganku menepuk kening.

"Ya Allah, Dek, mimpimu itu mengada-ada. Kebanyakan nonton sinetron ikan terbang sih." Tawa suamiku semakin berderai. Tangannya terulur, menyeka air mata di pipiku.

Diri ini nggak gemuk kok, hanya sedikit berisi. Beratku lima puluh delapan kilo dengan tinggi badan seratus enam puluh, bukankah itu termasuk ideal?

"Kamu itu satu-satunya, Dek, disini." Mas Ilham menunjuk dadanya, tepat di jantung. Lah gombal lecek.

"Beneran ya, Mas?" Aku meremas tangannya yang masih berada di pipiku.

"Satu aja nggak habis-habis ya, menul-menul gini, aku ya nggak bakalan berpaling, Dek," kata Mas Ilham meninggalkan kecupan di keningku. Lalu turun ke hidung, turun lagi hingga bibir. Cukup lama dia bermain di sana. Aku pasrah dan berusaha mengimbanginya.

Suamiku ini, pandai sekali menenangkan hati yang gundah. Bagaimana mungkin suami yang begitu lembut memperlakukanku bakal tega berpaling, selingkuh, bahkan menikahi gundiknya itu. Nggak, itu nggak bakal terjadi. Semoga ….

"Ya sudah aku mau bobok lagi," ucapku saat tautan kami terlepas. Kembali merebahkan diri, lalu memiringkan badan membelakangi Mas Ilham.

"Loh, Dek, sudah bangun ini." Keningku berkerut dalam. Bangun? Astaga … kututup mulutku yang mengaga.

Aku berdeham lalu berkata, "Bangun, ya ditidurin lagi, Mas. Masih gelap gulita ini loh." Aku berpura-pura tak paham maksud terselubung suamiku itu.

"Ini yang bawah, Dek, ya elah gak peka banget," rengeknya terasa semakin mendekat. Bahkan, embusan napas hangatnya terasa di tengkuk leherku, merembet hingga ceruk leher.

"Nggak mau, Mas. Salah siapa mau poligami," kataku seraya menahan tawa.

"Itu kan cuma mimpi, Dek."

Aku tahu itu hanya bunga tidur, tapi rasanya seperti ada yang mengganjal dalam dada. Aku resah, kepikiran, tak tenang.

"Kenapa, Mas Ilham masuk mimpiku? bawa calon madu lagi." Aku masih enggan berbalik untuk sekedar menatapnya.

"Dek ... Dek," rengeknya semakin mendekatkan badan.

"Tidur, Mas." Aku memejamkan mata sambil terus cekikikan. Duh, menggemaskannya suamiku ini.

"Dek, nggak mau bobok ini."

Aku menghela napas. Menetralkan degup jantung yang kian menjadi-jadi. "Iya, iya." Aku menghadapnya sambil menunduk malu-malu.

Lima tahun mengarungi bahtera rumah tangga, selama itu pula selalu tidur di ranjang yang sama, tak terhitung lagi sudah berapa kali kuserahkan raga ini untuknya, tapi setiap kali memulai aku masih saja merasa gugup, malu, dan jantung berdebar-debar. Selalu, seperti waktu pertama kali melakukannya.

Suamiku tersenyum, tangannya mulai memberikan sentuhan lembut nan memabukkan.

Bercampurnya pasangan halal malam ini, semoga Allah titipkan nyawa yang bersarang di rahimku. Janin yang akan kukandung selama sembilan lebih. Titipan yang amat-sangat kami nanti-nantikan.

Aku dan Mas Ilham sudah menikah selama lima tahun, dan belum juga memiliki keturunan. Padahal kami tidak ada kendala dalam kesuburan, semua hasil medis tidak ada yang perlu dikhawatirkan, bagus semua, kata beberapa dokter yang pernah kami kunjungi. Metode kimia, herbal, bahkan sampai urut peranakan pun sudah pernah aku lakukan.

Memang belum rejekinya, mau berusaha seperti apapun kalau Allah belum menghendaki semua itu tidak akan terjadi. Aku yakin, Allah memiliki rencana tersembunyi untuk kami yang tak henti-hentinya berusaha.

Semoga, apa yang aku khawatirkan, hanya sebatas kekhawatiran saja, Mas. Semoga.