PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Dewasa

Dewasa

Penulis:R. Kemuning

Berlangsung

Pengantar
Mendewasa di tahun 2019 membuat siapa saja berlomba dalam hal ekonomi maupun kedudukan. Akan tetapi, bagi Narasia Flora—perempuan berumur 21 tahun yang kini sukses mendirikan kafe kecil di sudut kota, kedudukan bukan suatu hal yang dibutuhkannya. Pertemuan dengan pria yang notabene merupakan staf menagement membuat pemikirannya sedikit terbuka akan kemajuan teknologi. Gavindra Reyhan, pria yang mulanya datang membawa kebahagiaan, perlahan malah membuka luka dalam.
Buka▼
Bab

Riuh kendaraan yang berlalu-lalang sukses membuat siapa saja merasa tak nyaman, belum lagi ditambah terik matahari yang semakin beringsang. Atensinya beralih pada ramai-ramai manusia berseragam yang keluar dari gedung pencakar, membawa serta laptop dan dokumen padahal tujuannya ke kedai makan.

Dia tersenyum. Mungkin, suatu saat dirinya bisa merasakan bekerja di dalam ruangan ber-AC itu. Mungkin.

Narasia Flora, perempuan itu kembali mengayuh sepedanya dengan tenang. Bibir tak henti tersenyum, sedangkan manik hitam miliknya sibuk menyorot belasan karyawan kantor yang berlalu-lalang.

Sekitar lima belas menit, dia membelokkan sepeda miliknya pada pelataran kafe kecil di sudut kota. Menata rambut yang mulai kusut, kini, dia siap bekerja.

Satu-dua pesanan telah dibuatnya, lagi-lagi dia harus dipertemukan dengan sunyi. Alunan lagu milik Fiersa Besari terdengar lirih. Nara menghembuskan napas samar, jemari mungil miliknya mengenggam gelang pemberian sang bunda. Kembali, perasaan rindu menjelma menjadi meja kursi, ia seperti tak pernah lepas setiap hari. Mungkin, jika bundanya masih di sini, Nara tidak akan merasa sebosan ini. Hidup pas-pasan, tapi juga membutuhkan banyak makan.

“Nar, tanpa gula satu.”

Perempuan itu mendongak, tersenyum. Pelanggan setianya ternyata, Brian. Mahasiswa akhir yang akhir-akhir ini sering berkunjung ke kafe miliknya, sekedar singgah sekalian mencari inspirasi.

“Skripsi disuruh revisi lagi?” tanya Nara seraya menyodorkan secangkir kopi panas. Sementara laki-laki di depannya hanya berdehem singkat. Nara terkekeh, dia sudah tahu pasti apa jawabannya.

“Saran gue, mending lo sewa ghost writer atau semacamnya.” Kini, Nara kembali menimpali. Perempuan itu menopang dagu sembari menunggu reaksi laki-laki di depannya.

“Percuma. Rata-rata bisa nulis doang logika gak ada,” cetus Brian seenaknya.

“Ya, lo sewa yang mah—” Ucapan Nara terhenti tatkala suara teriakan terdengar dari luar.

Perempuan itu buru-buru berlari ke sumber suara. Sontak matanya membelalak, di depannya sang sahabat tengah basah berkat perempuan lain di sampingnya. Tak ingin menimbulkan keributan, Nara menarik sang sahabat untuk masuk melewati pintu belakang. Sekedar memisahkan keduanya.

“Lo kenapa lagi, sih, Ci?!”

Perempuan yang dipanggil ‘Ci’ itu meraih botol mineral di meja tanpa permisi, lantas dia duduk dan menceritakan kejadian yang menimpanya barusan. Mbak-mbak yang umurnya jauh di atas dia datang memaki. Ciara sendiri pun mengakui kesalahannya, dia tahu jika mendekati pasangan orang lain salah. Tapi, mau bagaimana lagi, jika tidak begitu, dari mana dia bisa makan.

“Mau sampai kapan?” tanya Nara yang merasa lelah dengan sikap sahabatnya.

“Sampai gue punya segalanya,” balas Cia tanpa beban.

“Gila!”

-oOo-

Ruangan yang didominasi warna putih terlihat kontras dengan lantai dasar hitam. Jendala kaca yang dipasang di tiap sudut memamerkan pemandangan luar, seolah berhasil menyihir siapa saja agar singgah dan betah. Namun, kondisi yang ada justru berbanding terbalik dengan pria yang duduk menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan. Sepatu pantofel-nya mengetuk-ketuk lantai secara tak beraturan. Sesekali matanya melirik jam di meja.

Mungkin, orang lain di luaran sana akan bermimpi menjadi sepertinya; menjadi staf managemet di perusahaan kaca yang cukup ternama, berseragam rapi dengan bau parfum menyengat, pun dengan fasilitas yang tidak bisa dikatakan sederhana. Akan tetapi, orang-orang hanya memandang dari sudut pandang pengelihat, bukan perasa. Mereka hanya tahu baik-cukupnya, bukan beban beratnya. Jika saja mereka menjadi dia, mungkin, mereka akan menyesal.

Menjadi staf management dengan bayaran lumayan, tapi perusahaan di ambang kematian.

Suara ketukan pintu membangunkan dia dari lamunannya. Sesaat, dia mengusap kasar wajahnya, lalu menghampiri siapa kiranya yang menganggu waktu istirahatnya.

“Ya?”

“Ada yang mau bertemu dengan Bapak,” terang perempuan yang berpakaian hampir sama rapinya dengan dia. “mari saya antar,” lanjutnya.

Pria itu mengikuti perempuan yang baru saja mempersilakan hingga keduanya berhenti di ruangan yang cukup luas. Terlihat sang perempuan mempersilakan pria itu untuk membuka pintu, lantas ia berlalu pergi. Lagi-lagi dia mengusap kasar wajahnya sebelum akhirnya masuk menemui tamunya.

“Gue bisa bantu lo, Gavin.”

Seketika pria yang dipanggil Gavin menghentikan langkahnya, suara barusan seperti tidak asing di telinganya. Sosok di depannya menoleh, tersenyum.

“Lo?!”

-oOo-

Gerimis melanda sudut kota, jalanan yang tak pernah sepi kendaraan kini terlihat lenggang. Lampu-lampu jalanan mati untuk sesaat, sebab salah satu pohon ambruk menimpa pengendara.

Sedari tadi dia mengusak rambutnya frustrasi, matanya tak lepas dari layar gawai. Kopi panas miliknya sudah tergantikan dengan air hangat yang diambilnya seorang diri. Sementara perempuan yang identik dengan pita biru di rambutnya tengah melamun menatap jalanan. Manik bulat itu menelik tiap tetes tirta, menyesapi aroma aspal. Setiap hujan datang, dia merasakan bundanya ada di luar, berdiri bersama ribuan tirta. Melambai, tersenyum. Nara menarik napas dalam, rasanya sesak.

Berlebihan katanya? Tidak. Tidak ada seorang pun yang ingin ditinggalkan sang malaikat sedari kecil, tidak ada yang mampu hidup sendiri di tengah ganasnya kota DKI.

“Nar.” Suara serak itu mampu membuat Nara tersadar, dia menoleh. Wajah itu selalu berhasil membuat senyumnya mengembang.

“Air hangat?” tanya Nara spontan.

Brian tertawa renyah, dia menggeleng kemudian menepuk bangku di sebelahnya. Mempersilakan Nara duduk di dekatnya. Nara hanya menurut, manik bulatnya sesekali bertemu dengan mata sipit Brian, lantas dia menunduk. Malu.

“Jangan nunduk. Jelek,” ucap Brian tenang.

Kontan Nara melotot, yang terjadi selanjutnya gadis itu memukul habis lengan seseorang di sampingnya. “Lemes banget ya mulut lo!”

Brian terkekeh. “Menurut lo, gimana kalau gue ganti aja skripsi gue. Kayaknya gak sanggup gue nulis soal beginian.”

Nara tak langsung menjawab, ia melirik laptop milik Brian yang menampilkan barisan kata yang bercetak miring.

“Bukannya udah ngajuin judul?” tanya Nara.

Brian terdiam. Laki-laki itu menatap kosong layar komputernya. Sedetik kemudian tangannya meraih ponsel yang sedari tadi tergeletak di meja, jemari panjang itu dengan lincah mengetikkan sesuatu. Kemudian, terkirim!

Satu menit, dua menit, suara dentingan membuat senyumnya melebar. Terdengar jelas dia bergumam, “Yes” pada diri sendiri. Nara yang sedari tadi diam masih menatap Brian penasaran, sedangkan yang ditatap justru tersenyum-seyum sendiri. Tak lama, Brian menoleh, menatap ekspresi wajah Nara yang meminta penjelasan.

“Boleh!” serunya antusias.

Nara ikut tertawa. Sederhana memang, tapi bagi mereka apalah arti bahagia yang sesungguhnya.

“Terus rencana lo setelah ini mau ganti judul kayak gimana?” tanya Nara lagi.

“Ganti sama lo,” celetuk Brian tenang.

Mendengar itu spontan pipi Nara bersemu, ia tak kuasa menahan senyumnya.

“Dih, gak usah baper gitu juga kali!” ledeknya merangkul kepala Nara. Keduanya tertawa renyah, melupakan gerimis yang perlahan menjadi deras.

To Be Continue