Papa Badar mengenalkan wanita itu dengan nama yang relatif baru dia dengar di dunia ini: Viandra. Tebakan Badar yang pertama Viandra adalah namangabungan dari kedua orangtuanya, Via dan Indra. Mungkin juga Rendra atau Hendra. Bisa juga Mahendra. Atau malah Mandra? Pikir Badar.
Perawakannya cantik. Tentu saja. Cukup satu kata itu aja yang Badar pikirkan. Cantik. Soalnya Badar termasuk lemah dalam mendekripsikan kecantikan wanita. Seperti apa standar teknisnya? Apakah ada pengaruh letak bibir ke ujung hidungnya. Mata ke alisnya?
Tidak. Badar tidak paham itu. Viandra itu cantik. Satu kata ini juga bisa panjang penjelasannya bila menyaksikan sendiri cara dia tersenyum dan berjalan. Apalagi saat menyapa.
“Hai, aku Viandra. Senang bisa bertemu dengan kalian berdua.”
Kalimat pertamanya di rumah yang meluncur mulus tanpa jeda. Seperti Viandra sudah melatihnya sendiri berbulan-bulan.
Adik Badar Shella masih diam sambil melirik tipis ke arahnya. Biasanya kalau begini dia sudah mulai bermain hirarki kekeluargaan. Elder first. Yang tua duluan.
Papa mereka pun bukannya membantu wanita ini berkenalan dengan anak-anaknya malah sibuk melihat ponselnya.
“Hai juga tante.” Shella akhirnya membalas sapaan wanita itu setelah aku bediam diri tanpa reaksi. “Saya Shella. Ini abang saya. Badar.”
Apa yang harus Badar lakukan dengan wanita cantik ini? Wajah dan perawakannya tak jauh beda dengan cewek-cewek incaran si Gio ataupun Mara. Mereka berdua itu predator. Dan Viandra ini bisa jadi salah satu incaran mereka.
“Eh bang. Mau kemana?” Shella bertanya panik. Terang saja. Tangan Viandra masih melayang di udara.
“Haus gue. Lanjut aja Shel.”
Badar mengambil minuman di lemari es sambil melihat papa yang masih serius dengan ponselnya di teras belakang. Terdengar memang tak sopan, tapi dia harus mengerti dengan keadaannya.
Badar yang sedang tidur-tiduran di sofa, tiba-tiba dibangun paksa oleh Shella. Ada tamu,ada tamu, begitu katanya.
Bukan karena cubitan kecil Shella yang membuat Badar terbangun, tapi parfum Viandra yang menusuk halus hidungnya. Padahal Badar yakin benar kepalanya sudah terbenam dengan bantal sofa.
Bahkan dari balik mini bar ini saja Badar masih bisa mencium parfumnya. Berkelas dan yang pasti tidak murahan.
Tapi selain itu, yang sebenarnya terjadi adalah Badar hanya mengambil jarak dan waktu agar bisa meminta Shella untuk mengambil foto si Viandra.
[Gila lu bang. Gak enak gua]
[Udah buru. Mau gua tanya ke Gio]
[Diiih..elu mah. Si kutu dibawa-bawa]
Dari balik meja yang berkonsep mini bar ini Badar bisa melihat bagaimana usaha Shella mengambil gambar Viandra. Tidak dengan diam-diam tapi dengan selfie. Badar menepuk jidatnya tanpa suara. Kenapa harus barengan fotonya? Yang ada ntar Gio yang salah fokus. Malah ngecengin adikku lagi, Badar membatin.
Eh … bentar. Badar menyimak sebentar dari sudut pandang sini. Arah yang tepat mengamati garis wajahnya. Dan tentu saja tak perlu takut ketahuan. Gio tak mungkin salah fokus. Dia pasti melupakan adiknya kalau ada Viandra di sana.
Dasar fakboy setengah jadi. Kemana anak itu sekarang? Sebelum Badar sempat mengirim pesan ke Gio, sebuah kiriman gambar masuk dari Shella.
[Nooh…]
Tanpa pikir panjang Badar langsung meneruskan pesan itu kepada Gio. Sekarang sudah jam 4 sore. Anak itu pasti masih di rumah, piker Badar.
Apa yang harus Badar lakukan sekarang? Kembali ke sana? Membiarkan matanya terjebak di kecantikan tanpa bisa berbuat apa-apa?
Papa pasti punya alasan membawa wanita itu ke rumah ini. Istri baru papakah? Guru privat Shella? Pembantu?
Oh Shit. Tidak mungkin. Cukup Inem saja pembantu yang seksi. Jangan Viandra. Tidak cocok. Tidak semua film itu bisa menjadi nyata.
Papa biasanya berdiskusi dulu dengan anak-anaknya kalau membuat keputusan besar. Apalagi seperti pernikahan. Shella saja yang pergi liburan ke Bali, diskusinya bisa 3 hari malam. Walaupun sisa 1 harinya dilanjutkan lewat virtual alias video chating.
Tidak dengan dadakan seperti ini. Apalagi aku yang belum mandi dan gosok gigi. Ditambah tanpa kolor di celana pendekku. Gawat kan?
Dan lihatlah. Viandra memang memakai blazer biru pastel dengan kerah lebar yang menyamping. Tapi Badar tahu persis, dari balik blazernya dia hanya memakai kain tanpa lengan alias kemben berwarna hitam.
Badar meliriknya tadi saat gerak tangannya yang menjulur. Menggantung di hadapan mereka berdua.
Selain itu, roknya memang di bawah lutut tapi cukup ketat menampakkan lekukan paha dan pinggulnya. Badar harus buru-buru menyingkir dari hadapannya sebelum ubun-ubunnya meninggi.
Siapa Viandra? Jawaban dari pertanyaan ini hanya bisa keluar dari mulut seseorang yang sekarang masih berdiri di depan layar ponselnya. Wajah serius dan sesekali mengepulkan asapnya ke udara dengan panjang dan tebal.
Papa memang sudah 2 tahun menduda. Tahun ini mungkin waktu yang tepat papa menikah lagi. Umur papa juga masih muda, 45 tahun. Tapi tidak mungkin dengan wanita ini. Umur Badar sudah 23 dan Viandra ini mungkin hanya selisih tipis dengannya. Mungkin 25-an, tebak Badar.
Tapi terkadang kecantikan wanita biasa dibungkus dengan riasan. Menambah umurnya jadi naik 2 tingkat. Okelah, Viandra tanpa riasan mungkin seumuran dengan Badar.
Sebuah suara pesan masuk dari ponsel dengan getaran kecil. Balasan pesan dari Gio.
[Njir, siapa wak?]
Wak adalah sapaan akrab Gio ke Badar karena Gio asalnya memang dari Medan.
[Kenal gak?]
Gio masih mengetik lama saat Badar membalas pesannya. Masih ditatapnya layar itu saat Gio masih mengetik. Di saat itu, Shella masuk ke mini bar mengambil minuman. Badar meliriknya sebentar dan bertanya.
“Si mbak kemana? Kok elu yang buat?” Sekilas Badar memperhatikan VIandra mengetik di ponselnya. Sandaran tubuhnya ke sofa seolah memberitahu kenyamanannya di rumah ini.
“Ke pasar kayaknya,” jawab Shella dan langsung mendekat dengan sambaran bisikannya. “Gua kenal banget tuh parfum. Gak sembarangan.”
“Dibeliin papa?” tanya Badar. Shella hanya menggeleng sambil meloyor pergi membawa botol minuman.
[Eh berarti Shella lagi di rumah ya? Gua ke sana sekarang ya?]
Biadab, Badar memaki sendiri di dalam hatinya. Badar kesal, Gio tidak menjawab sesuai dengan pertanyaannya. Badar mematikan layar ponsel dan segera bergegas ke kamarnya di atas.
“Eh mau kemana? Bentar-bentar. Papa mau ngomong sama kalian.” Tiba tiba Papa sudah memotong langkah badar ke tangga.
“Bentar pa, mandi dulu,” jawab Badar.
“Gak sempat. Papa mau pergi ke luar.”
Kalau Papa sudah ngomong ‘luar’ berarti itu alamat pergi ke luar negeri. Dan artinya memang mendesak dan Badar tidak bisa mandi sekarang.
Diskusi keluar dimulai dengan kehadiran orang baru di sofa kebesaran kami bertiga. Papa mengambil satu sofa dengan sandaran yang di atasnya terdapat pahatan bunga yang sampai sekarang Badar tak mengerti jenisnya sampai sekarang.
“Begini. Papa mau ngomong sebentar. Udah telat sebenarnya. Sejam lagi sudah mau berangkat. Ini Viandra. Dia adalah …”