PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Enemies Wedding

Enemies Wedding

Penulis:GeovannyS

Berlangsung

Pengantar
Lovani Agastani yang notabene-nya merupakan wanita serba mandiri, tiba-tiba harus terikat dengan sebuah jalinan bernama pernikahan. Pernikahan yang seharusnya didasari dengan cinta, malah berpondasi dengan sebuah kebencian. Karena dendam kekasihnya di masa lalu belum terselesaikan, pria yang merencanakan pernikahan itu menyeret Lovani pada jurang tak berdasar. Sesuatu yang mengurung kebebasan Lovani agar mudah ditundukkan. Namun, semakin ke sini, semua fakta itu berubah adanya. Dan pernikahan yang digunakan sebagai alat bagi pria itu ..., beberapa kali berada di ujung tanduk. Antara harus diselamatkan, atau dibiarkan terbengkalai dan mati sendirinya. Antara lelah harus berjalan bersama ..., atau merelakan tautan tangan mereka sejauh ini?
Buka▼
Bab

"Apalagi kali ini?" Lovani Agastani menepuk kedua tangannya serius kala melihat asisten pribadinya membawa serangkai bunga semerbak. Oh, siapa pun akan mencintai bunga itu, kecuali Lovani yang tak terlihat senang. "Si brengsek itu lagi, huh?"

"Benar, Nona." Pria itu sejenak membungkuk terhadap Lovani. "Apa perlu saya buang lagi karangan bunga ini, Nona? Sepertinya saya tidak melihat antusiasme Nona-"

"Hubungkan saya dengannya. Sekarang juga, tidak ada pengecualian." Mata abu-abu itu terang-terangan menyorot ganas. Hendak menerkam si pria yang masih dengan sikap hormatnya. "SEKARANG, RANE! TUNGGU APA LAGI?!"

Sejenak Saverane melirik naik ke Nona yang tengah berada di ujung kemarahannya. Tangannya merambat ke kanan, menurunkan rangkaian itu, lalu mengambil langkah mundur lagi. "Baik, Nona. Segera saya sambungkan."

"CEPAT!" sentak Lovani memerintah.

Blam!

Belum sedetik semenjak kepergian bawahan setianya, Saverane, Lovani mengetuk beberapa kali jarinya di atas meja. Menunggu dengan gusar. Pupil abu-abunya itu tak berhenti melirik tajam, sangat ingin membelah telepon putih tersebut.

Kring!

"Anja Gastana!"

Spontan, pria di seberang itu menjauhkan telinganya dari pekikan nyaring tersebut. Bibir seksi merah itu terukir senyum seringai. Mengusap bagian sudutnya yang tak dapat berhenti tersenyum mendengar suara kemarahan itu.

Bagai alunan kebahagiaan untuknya. Bagaimana tidak? Hanya ia yang bisa menyulut dan menjatuhkan Lovani Agastani ke dalam neraka. Dan ia … sangat-sangat ingin melakukannya. Sudah tercatat ke dalam daftar ambisi barunya. "Ya, Nona Lovani Agastani?"

"Jangan berani-beraninya Anda mengirimi saya rangkaian bunga bodoh itu! Sebelum saya bakar sendiri di depan perusahaan Anda- tidak-tidak, di depan kantor Anda! Sebaiknya Anda berhenti sekarang juga!"

Deru napas naik turun Lovani terdengar menarik di telinganya. Orang yang sangat penuh dengan kobaran kemarahan. Benar, orang seperti Lovani yang angkuh dan tidak takut apa pun begitu memikat telinga dan matanya. "Apakah Nona Lovani Agastani berani melakukan itu?"

"Tentu saja iya! Anda pikir bahwa saya main-main dengan ucapan saya?! Begitu?!" bentak Lovani menumpahkan segalanya dalam suatu saat. "Dengar, Tuan Anja! Atau yang perlu saya sebut Tuan Brengsek! Lebih baik Anda simpan pikiran dan otak Anda untuk bersaing dengan produk baru milik saya! Alih-alih mengacaukan pemimpin perusahaan dengan cara kotor seperti ini!"

"Nona Lovani menyebut ini sebagai cara kotor?" Anja terkekeh sinis. Menaikkan kedua kakinya yang saling lurus dan bertumpu di atas meja. "Kalau saya ingin bermain dengan cara kotor, maka saya bisa membuat perusahaan Anda terhubung dengan skandal."

"Ya, dan saya juga bisa membuat skandal tersebut, Tuan Anja." Dalam-dalam Lovani menarik napasnya dalam, mempersiapkan ultimatum seperti biasanya. "Anda salah target berbicara, Tuan! Saya ini Lovani Agastani! Pemilik perusahaan nomor satu dalam bidang teknologi! Dan saya tidak akan pernah bisa dikalahkan oleh orang kotor sepertimu!"

"Nona Lovani-"

"Jangan panggil saya dengan embel-embel Nona, Sialan!" umpat Lovani berapi-api. "Kalau Anda sudah keterlaluan, saya juga akan bertindak. Ini terakhir kalinya Anda mengerjai saya, dan saya berbaik hati memperingatkan Anda melalui telepon!"

Klap!

Kepalanya terasa berdenyut sakit setelah meluapkan segalanya yang menjadi pusat rasa pusingnya belakangan ini. Sudah berkali-kali hal ini terjadi, Anja tidak pernah bisa berhenti dari sifat kekanakannya itu.

Tentu, ini cukup mengganggu Lovani. Ia sudah dipusingkan oleh masalah internal dirinya, masih pula harus mengurus masalah eksternalnya.

Apa perusahaan yang menduduki peringkat kedua penjualan itu tidak punya masalah sama sekali, sampai harus mengganggu Lovani? Seperti orang kurang kerjaan saja.

Tok! Tok!

"Permisi lagi Nona Lovani-"

"Apa?" semprot Lovani tak ingin berbasa-basi. Sembari memijat keningnya, menyingkirkan makanan kesukaannya yang bahkan tidak sempat dihabiskannya.

Berkat Anja. Pria itu senang, bukan, sudah mengganggu hidupnya? "Apa, Rane?"

"Saya baru ingin mengatakannya, tapi Nona telah memotongnya terlebih dahulu," tutur Saverane lugas.

Lovani mengembuskan seketika napasnya. Menegapkan lagi punggungnya yang rileks, bersedekap di atas dadanya kembali. "Katakan sekarang."

"Sudah waktunya untuk rapat, Nona Lovani. Semua persiapan sudah saya siapkan. Begitu juga dengan dokumen yang sudah saya tata rapi di atas meja rapat. Minuman Nona pun telah saya persiapkan juga, dengan cemilan di sampingnya jika saja Nona merasa lapar," terang Rane lancar.

Wanita itu mengangguk dua kali tanda paham. Tapi kemudian, memutar kursi kerjanya hingga berpunggungan dengan Saverane. "Baiklah. Saya akan menyusul lima belas menit lagi. Suruh mereka mulai rapatnya dengan kau sebagai pemimpin rapatnya."

"Apa … Nona tidak merasa baik-baik saja?" tanya Rane khawatir.

"Itu bukan urusanmu," cetus Lovani angkuh. Berpandangan lurus dengan kaca transparan di depannya, yang mungkin saja pantulannya dapat terlihat dari sudut pandang Rane. "Cepat ke sana. Jangan membuang waktu saya yang berharga. Bekerjalah secara efisien."

"Baik Nona. Saya menunggu kedatangan Nona segera."

Tidak hanya sekali Lovani mengetuk dadanya yang terasa sesak. Hingga dua kali …, tiga kali …, empat kali, barulah Lovani dapat menyandarkan tubuhnya untuk beristirahat di punggung kursinya.

Ada punggung kursi, tapi seolah tak terlihat setiap kali Lovani bekerja. Punggungnya kerap lurus, sejajar dengan cahaya radiasi yang terus-terusan mengarah padanya.

Memburam pun, Lovani tidak bisa berhenti. Mengabur pun, yang ada di pikirannya hanya perusahaan ini.

Perusahaan ini sudah seperti nyawanya sendiri. Ia akan terus membuatnya maju ke depan, bukan mundur ke belakang.

Dan kotoran seperti Anja itu, tak akan ia biarkan mengganggu jalannya.

***

"Kalau kalian ingin kata kerja bagus, maka lakukan seperti sepatutnya! Bukan membuang-buang waktu untuk revisi! Pekerjaan ini seharusnya dapat sempurna dalam kurung waktu satu bulan. Tapi lagi-lagi, kalian yang tidak becus ini menghancurkan segalanya!"

Pandangan mengkilat dari maniknya membelah kesunyian di dalam ruang rapat. Kertas-kertas berkliping itu dikembalikan kepada pemiliknya, secara tidak hormat.

Bahkan, Rane yang tadinya menjadi pemimpin rapat, telah diam membisu di samping Lovani. Tak berani berucap, membiarkan suara tingginya Lovani senantiasa keluar menggebu-gebu.

Bersikap tunduk dan hormat, adalah perilaku dan tingkah yang patut mereka tunjukkan kepada Lovani. Tak ada yang berani membantah, tak ada yang berani menangkal. Diam, hening, dan menegangkan. Tiga kata yang tepat untuk mendeskripsikan ruangan ini.

"Cepat keluar! Tunggu apalagi kalian?!" sentak Lovani.

Terbirit-birit satu ruang rapat ini menyepi secara bertahap. Entah ada yang melupakan botol minumnya, ponsel, dan hal lainnya tertinggal percuma di atas meja. Terbengkalai tanpa diambil oleh sang pemilik.

Sementara, di depan meja panjang itu, terdapat seseorang juga yang masih duduk menimpa sebelah kakinya di atas sebelah yang lain. Terjerumus lurus ke depan, tanpa terdistraksi oleh orang di sampingnya.

Mereka hanya hening selama beberapa detik, sampai ponsel pembawa petaka bagi Lovani muncul.

Mama.

Manik bergetarnya telah mengatakan semuanya. Dilanjutkan dengan bibirnya yang gemetar separuh-separuh. "Pergi, Rane. Tinggalkan ruangan ini dan jangan biarkan ada yang masuk."