PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Emak

Emak

Penulis:Wilis

Berlangsung

Pengantar
Uang adalah segalanya, hanya mereka yang kalah dan menyerah yang bertolak belakang dengannya. Dan emak adalah satu diantara sekian banyak lainnya yang menggadaikan seluruh yang dia miliki untuk uang. Keluarga, umur dan bahkan dirinya sendiri. Meningalkan kampung, bapak, anak-anaknya dan meninggalkan dirinya sendiri. Awalnya, setiap candu adalah penawar bagi penyakit. Akhirnya, semua candu adalah penyakit. Dan emak tahu betul dengan hal itu, sampai dia menyesal dan kembali ke kampung. Ketika semua hal yang dia miliki semua sudah dia tukar dengan uang. Separuh dari kami juga-anak-anaknya- sudah dia gadai dengan waktu yang dia buang di pabrik-pabrik dan tempat kerja lainnya. Emak meninggalkan kami di Situraja, meninggalkan bapak dan anak-anaknya, pergi bekerja di pabrik, di Rancaekek. Awalnya untuk membantu keuangan keluarga, membantu bengkel bapak agar berkembang. Namun lalu dipaksa mengundurkan diri karena poto emak terpampang jelas pada koran-koran. berdemo di kantor kabupaten. Setelah keluar dari pabrik, emak bukan berhenti, bahkan ketika bengkel bapak berkebang. Emak membuka usaha jual dan kredit pakaian. Habis-habisan emak bertaruh disitu. Bahkan sampai berutang ke bank. Jumlahnya besar. Emak menyicil utangnya. Sempat bergelimang kesuksesan, akhirnya emak gulung tikar setelah ditinggal kabur oleh mitra usahanya. Emak rugi besar. Utang ke bank tak kenal toleransi, emak tetap harus menyelesaikannya, emak tetap bekerja. Ini cerita yang hilang dari kami –anak-anaknya. Cerita yang kami dengar dari gumam emak setiap lamunannya menyambar tak kenal waktu. Cerita yang hanya bisa kami curi.
Buka▼
Bab

Pulang ke Situraja, aku ingin membawa emak ke Jatigede. Ke bendungan yang menenggelamkan berhekatar-hektar sawah dan tanah, memaksa orang-orang menjadi bingung dan linglung. Yang menjadi tempat emak dan almarhum bapak menikah. Duapuluhan tahun silam kata emak. Tapi, tak pernah emak menceritakan bagaimana bapak. Bagaimana dia dan bapak awal bertemu, pacaran lalu menikah di Bojongsalam. Emak tidak pernah cerita, biasanya pagi-pagi bapak minta disediakan apa, bagaimana bapak bekerja, bagaimana bapak memperlakukan emak, bagaimana pada akhirnya laki-laki yang telah menanam benih dirahimnya itu meninggal. Bahkan sampai aku sebesar ini. Emak menghindari bapak. Aku hanya selalu mendengar cerita emak ketika di Bandung. Banting tulang mencari uang dari satu kerjaan ke kerjaan lainnya, kerja siang malam bahkan sampai dini hari hanya untuk menghidupi kami anak-anaknya yang tinggal di Situraja. Dan membayar hutangnya bertahun-tahun. Ketika muda, emak cantik sekali, persis seperti adik perempuanku.

Yang kudapat dari emak sekarang hanya sorot matanya yang kadang kosong, memandang entah apa sambil sesekali bergumam. Ketika ditegur, dia senyum, menyeka air matanya, lalu bangkit dari tempat duduknya. Mengerjakan hal yang membuatnya sibuk. Melupakan tangisan.

Dari Cibiru, tepat di depan kampus tempatku kuliah, hanya satu angkutan saja yang perlu aku tumpangi untuk langsung mengantarkanku menuju Situraja. Bandung-Wado. Menyusuri Cileunyi yang macet sampai terurai di Jatinangor. Sepanjang perjalanan, mata emak membayangiku. Bukan sekedar kerinduan yang membawaku pulang, rasa khawatir dan penasaran pada hidup emak ketika di Bandung lebih mendesakku untuk lebih sering berada di dekatnya. Aku ingin tahu, bagaimana emak bisa menyelesaikan hutangnya pada bank selama lima tahun, bagaimana emak menghidupi kami, membiayai sekolah kami, membiayai kebutuhan orangtuanya. Belasan tahun, sendirian.

Aku terbangun dari lamunan dan mata emak yang terbayang dari kaca jendela minibus yang aku tumpangi ketika kernet menagih ongkos. Disampingku, duduk ibu muda yang memangku bayi kecil. Bayi kecil yang mungil, menete pada susu ibunya. Aku tersenyum, dia membalas. Suaminya dikursi seberang. Tertidur.

Kata emak, tak ada satupun dari kami, anak-anaknya, yang tak menetek darinya. Semuanya ia beri susu sampai umur dua tahun. Sampai kami bisa benar-benar memakan makanan lain. Setiap aku teringat itu, aku ingin menangis, sangat malu.

Melewati Tanjungsari yang gersang, cerita-cerita emak mulai bermunculan. Cerita-cerita yang tak pernah kami minta meluncur begitu saja ketika lamunannya terbang sendirian. Tentang bagaimana pabrik memperlakukannya seperti bentangan aspal sepanjang jalan Rancaekek, bagaimana ratusan karyawan yang ia bela di depan kantor kabupaten Sumedang terasa menusuk punggung ketika staff personalia memanggilnya untuk ditanyai perihal demonstrasi, tentang bagaimana pada akhirnya dia diminta untuk mengundurkan diri dari pabrik yang selama delapan tahun dia berikan keringat sebagai sesajen setiap harinya.

Aku hampir tertidur ketika minibus mulai memasuki Cadas Pangeran. Jalan berliku yang mengancam hidup. Tumbalnya hidup ratusan, mungkin ribuan atau bahkan jutaan orang yang membuatnya. Di dalam minibus jurusan Bandung-Wado, hanya orang-orang yang sangat lelah dan perlu tidur yang dapat tertidur didalamnya. Minibus semacam ini dikemudikan oleh orang indonesia yang sangat berkarakter. Lebih butuh uang ketimbang meneruskan hidup tanpa uang.

Hanya potongan-potongan cerita yang bisa menembus mata emak. Aku curi ketika dia ingin bercerita saja. Padahal, seluruh hidupnya ingin kuketahui. Aku sungguh malu, melihat emak pada akhirnya bisa membawaku ke tingkat pendidikan setinggi sekarang. Aku malu jika tak pernah tahu derita dan perjuangannya. Aku ingin memasuki hidup emak yang dulu.

Cerita tentang laki-laki yang bukan bernama bapak, justru lebih sering aku dengar. Apakah dia bapak? Tanyaku. Bukan kata emak. Dia orang Bandung. Laki-laki itu yang membantu emak selama di Bandung. Bukan suaminya, suami emak hanya bapak. Laki-laki itu begitu sering hadir dalam cerita emak yang sepenggal-sepenggal. Membantu emak tetap bekerja, mencarikannya lagi pekerjaan ketika tempat kerja lamanya tutup atau emak harus keluar dari pekerjaannya. Dia tak pernah menghidupi emak. Laki-laki itu hanya sesekali membawakan emak nasi bungkus, lalu makan bersama emak di kamar kontrakan emak di Bandung. Sesekali, kata emak, laki-laki itu memberi pinjaman uang kepada emak. Ketika emak kembalikan, laki-laki itu menerima uang emak. Tanpa bunga.

Siapa dia, Mak?

***

Cadas Pangeran. Jalannya mirip cameti, semacam ular yang sedang merayap. Diatasnya tebing yang siap longsor jika tak dirawat lalu digerus air hujan, dibawahnya jurang yang siap menangkap apapun yang terlempar dari jalanan. Orang-orang yang tak layak ada dijalannya, akan dikubur longsoran tebing atau terlempar ke jurang. Orang-orang itu tidak dipilih berdasar nomor urut, tapi juga tidak dipilih secara acak. Orang-orang itu tertindih longsorang atau terlempar ke jurang karena sudah memilih.

Emak, orang yang kuat. Dia memilih untuk terus bertahan dan menuntaskan semua cita-citanya. Setelah belasan tahun di Bandung, emak kembali ke Situraja, membawa semua sisa tenaganya untuk tetap bertahan. Aku lulus SMA, adikku naik kelas dua SMA. Dan emak masih punya perbekalan untuk itu semua. Aku masih ingat hari itu hari dimana kami berdua sedang berada di teras rumah, melihat emak berjalan memasuki gang sempit menuju rumah. Kami semua senang, emak terlihat cantik. Sangat muda.

Emak bilang, mulai hari ini, emak tidak akan ke Bandung lagi. Emak akan tinggal di Situraja. Bersama kami tiga anaknya. Jika memang perlu bekerja atau berusaha sekedarnya, akan emak lakukan di sini. Entah itu membuka kios di pasar, atau berjualan keliling. Hari itu, aku menemukan ibuku, aku menemukan seseorang yang sudah belasan tahun menghilang dan hanya sesekali datang.

Minibus meninggalkan Sumedang kota, menuju Situraja. Menghabisi perjalanan. Senyum emak yang kurindu dan sorot matanya yang membawa ribuan cerita mulai membuat jantungku berdetak lebih kencang lagi. Bayangan-bayangan kehidupan emak yang hingga kini menjadi misteri, dan bapak yang tak pernah aku temui lagi sejak aku masih kecil. Aku berhenti diterminal Situraja, semacam pasar yang menjadi terminal bayangan. Dari sini, aku jalan kaki. Menggunakan ojek membuat malas dan membuang uang. Lima menit berjalan dengan tas ransel dipunggungku tak membuatku lelah, ini hal biasa. Sangat biasa karena tak jauh lagi, rumah kecil kami akan terlihat. Setelah memasuki gang sempit dibelakang pasar. Emak dan adik-adikku ada di sana.

Cerita-cerita ada di sana. Menungguku.