PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Calon Istriku Bukan Istriku

Calon Istriku Bukan Istriku

Penulis:Alif Ketjil

Berlangsung

Pengantar
Perjalanan cinta seorang Alif Pratama tak sesederhana yang ia bayangkan sebelumnya, dalam pikirannya jika telah bertemu seseorang yang cocok maka tahap untuk menuju sebuah pernikahan bisa berjalan dengan baik. Alif dipertemukan oleh Nurul di masa pendidikan dan latihan bagi pegawai negeri yang baru mengabdi. Alif dibuat penasaran oleh kehadiran sosok Nurul saat bertemu di meja registrasi. Sandi dan Bagus, dua teman kamarnya menjadi lakon utama yang membuat Alif dan Nurul saling beradu pandang di lift hingga membuat Alif mati kutu saat berhadapan dengan Nurul. Selesai masa diklat, saat Alif kembali bertugas di Sumur Ujung Kulon Banten, hubungan keduanya berlanjut. Beberapa kejadian mulai dari ke tempat wisata danau yang ternyata sudah tutup saat mereka datangi, kejadian tidak menyenangkan di KRL, hingga keseriusan yang Alif tunjukan membuat Nurul yakin dengan sosok Alif, di matanya Alif seperti cinta pertamanya, yaitu bapaknya. Alif dan Nurul telah sepakat untuk ke tahap serius, yaitu berumah tangga. Saat Alif akan menemui orang tua Nurul, seseorang dari masa lalu Alif muncul. Khairunnisa, gadis yang ia kejar dahulu kini datang menyatakan isi hatinya. Alif sepenuhnya yakin dengan Nurul, tapi saat keyakinan Alif untuk memperistri Nurul telah diutarakan, pak Handoko belum bisa melepas putrinya. Di tengah perjuangan Alif berupaya mendapatkan restu dari orang tua Nurul, Nurul malah menjaga jarak. Saat Nurul meminta waktu untuk sendiri dengan alasan memikirkan hubungannya dengan Alif muncul pengakuan tak terduga. Alif terpukul, sebelumnya ia telah memilih Nurul dan mengabaikan Nisa yang mencoba datang kembali dalam hidupnya. Alif dalam masa pemulihan hati dan mental, ia kembali ke tempat tugasnya di Sumur Ujung Kulon. Alif sedang tidak dalam keinginan membuka hati untuk wanita dalam waktu dekat, Nisa tiba-tiba datang ke rumahnya.
Buka▼
Bab

Lelaki kurus dengan carrier enam puluh lima liter itu mempercepat langkahnya, ia memasuki gapura Stasiun Kereta Api Tangerang, coummuter line yang pagi ini akan ia naiki berangkat pukul 07:00 WIB. Namun, bukan kegusaran karena terlambat naik KRL yang membuatnya nampak terburu-buru, ia telah membuat janji dengan temannya untuk bertemu tepat pukul 6:30WIB, masih ada waktu lima menit lagi sebelum waktu yang disepakati.

Sesampainya di depan stasiun, tepat di depan pembelian loket ia nampak mengawasi keadaan sekitar. Matanya tidak menangkap sosok yang ia kenali, setelah ia membei tiket lantas ia keluarkan gawainya.

“Assalamualaikum, halo pak Fahri,” suaranya mengawali pembicaraan.

“Oia, Mas Alif udah sampe belum, Mas? Saya udah di dalam nih pas banget depan KRL, Mas Alif di mana?” jawab pak Fahri.

“Saya tepat di pintu masuk pak, dekat loket. Ouh gitu okay pak saya masuk kalau gitu, assalamualaikum,” ia menutup percakapan.

Alif lalu menempelkan kartu multi tripnya di gate dan menuju ke tempat pak Fahri. Tak butuh waktu lama ia mengenali pak Fahri dengan potongan rambut cepak tni yang nampak serasi dengan perawakannya.

“Assalamualaikum pak, duuh maaf ni jadi nunggu lama,” suara Alif membuyarkan lamunan pak Fahri.

“Walaikumsalam, eh nggak apa-apa mas saya juga belum lama sampenya,” balas pak Fahri.

“Wah udah kayak mau wajib militer aja pak potongannya hehehehe,” Alif mencoba mencairkan suasana.

“Iya nih hahahaha, eh kita foto dulu yu biasa buat status WA,” pinta pak Fahri.

“Okay pak itu intinya,” Alif membalas seenaknya.

Sesaat kemudian pak Fahri mengeluarkan gawainya lalu mereka berswafoto, ya dua orang yang memang mirip akan wajib militer itu kini nampak asyik mengabadikan diri, bahkan hampir tak ada bedanya dengan para wajib militer di negeri ginseng, walaupun hanya bermodalkan potongan cepak tni.

Suara penyiar commuter line terdengar, menginformasikan keberangkatan armada kereta listrik yang akan dinaiki oleh Alif dan pak Fahri sesaat lagi segera meninggalkan stasiun. Suara itu memandu Alif dan pak Fahri untuk masuk sesegera mungkin. Alif bergegas memperhatikan langkahnya di peron dan masuk di gerbong pertama, ia dan pak Fahri lalu berjalan ke gerbong dua dan seterusnya, sampai di gerbong enam pak Fahri mengajaknya untuk mencari tempat duduk.

“Udah mas sampe gerbong ini aja jalannya, kita cari tempat duduk disini!” suara pak Fahri menghentikan Alif.

“Okay pak, dimana nih enaknya? Saya biasanya kalo untuk dua orang cari tempat duduk di bangku yang pojok itu pak.”

“Nah boleh tuh sip deh,” pak Fahri menyetujui.

Mereka berdua lalu melepaskan tas dan barang bawaan lainnya lalu kemudian duduk.

“Loh, Mas Alif cuma bawa satu ransel aja?” tanya pak Fahri yang baru menyadari barang bawaan Alif.

“Iya pak Fahri, ini juga bisa sampai satu bulan pak,” jawab Alif.

“Emang beda ya kalau udah biasa surveive-mah,” kembali pak Fahri menimpali.

“Nggak kok pak hehehe, kopernya mau ditaro di atas aja pak? Sini biar saya bantu pak.”

Suasana gerbong KRL pagi itu mulai ramai ketika memasuki Stasiun Poris dan Kalideres, segerombolan penumpang mulai memenuhi tiap gerbong. Namun belum berdesakan, bahkan masih bisa dikatakan lumayan berjarak untuk ruang kosong diantara penumpang.

Jam-jam padat penumpang di KRL memang bisa diprediksi. Pasti akan sangat padat di jam pergi dan pulang kantor. Dalam keadaan tersebut jika memang tidak siap untuk saling berdesakan, maka disarankan menunggu aramada lain. Namun untuk orang-orang yang sudah hidup dengan rutinitas pergi dan pulang dengan commuter line, itulah seninya. Bahkan tak jarang di saat pintu KRL akan tutup dan penumpang sudah penuh sesak ada saja seorang yang merangsek masuk.

Dari balik jendela KRL suasana Ibu Kota yang “selalu hidup” sudah menanti kedatangan Alif, terlebih setelah melewati Stasiun Grogol. Padatnya Jakarta pagi itu dipenuhi berbagai kendaraan dan manusia dengan segala aktivitasnya. Alif masih nampak mencoba menikmati perjalanan dengan memasang earphone. Setelah lama perjalanan yang ia lalui, ia dikagetkan dengan tangan yang menepuk pundaknya.

“Iya pak Fahri, maaf tadi lagi dengar musik,” Alif mencoba membaca situasi.

“Mas nanti kita transit di Stasiun Tanah Abang aja ya,” saran pak Fahri.

“Loh, Pak Fahri kenapa emangnya? Bukannya malah padat ya pak di Tanah Abang?”

“Nggak mas, justru kalo kita transit di Stasiun Duri nanti ke Stasiun Manggarai dan Stasiun Jatinegara jam segini lagi rame-ramenya, perkiraan jam 10-an sih kita transitnya,” pak Fahri menjelaskan.

“Ouh gitu, nah nanti kita dari Tanah Abang kemana pak?” Alif kembali bertanya.

“Kita langsung ambil yang ke Jatinegara, tapi yang lewat Angke, Kampung Bandan, Rajawali, terus lanjut Senen sampe Stasiun Jatinegara mas.”

“Ouuuh gitu, saya belum pernah naik rute itu sih pak. Boleh pak, sip deh.”

Alif lantas melanjutkan mendengarkan lagu di earphonenya, untuk sekadar mengisi waktu di KRL memang banyak cara dilakukan penumpang dan mendengarkan lagu dari gawai merupakan yang paling sering dilakukan. Terlebih untuk penumpang yang berdiri dan dalam keadaan berdesakan, pilihan mendengarkan lagu jadi hal yang banyak dijumpai. Entah mendengarkan lagu, main game, ngobrol dengan temannya atau hal lainnya selagi bisa menghilangkan kejenuhan saat menunggu turun di stasiun tujuan pasti dilakukan, termasuk tidur.

Pak Fahri mulai mempersiapkan barang bawaannya, suara announcement sedari tadi sudah terdengar. Namun, Alif masih asyik dengan alunan dari earphonenya, ia baru sadar saat pak Fahri berdiri hendak mengambil koper.

“Eh udah sampai ya pak?” seketika pertanyaan Alif terlontar.

“Iya mas, ayok siap-siap tuh udah mulai keliatan,” pak Fahri menunjuk ke luar jendela. Papan nama Stasiun Tanah Abang telah memanggil.

Mereka dengan hati-hati melangkahi peron, menyusuri peron lainnya dan mencari papan info, membaca arah. Seketika lautan manusia tumpah dari Pasar Tanabang. Alif mengubah posisi carriernya ke depan, disandangnya di dada, begitu pun pak Fahri ia mengubah posisi tas punggungnya ke depan, memegang erat kopernya. Sudah menjadi hal umum bagi penumpang KRL, demi keamanan barang bawaan apalagi dikeramaian.

Alif dan pak Fahri nampak kesulitan mencari info peron arah KRL yang akan mereka tumpangi selanjutnya, karena begitu ramainya orang yang datang dari Pasar Tanah Abang.

Stasiun Tanah Abang sedianya merupakan stasiun yang selalu ramai. Stasiun Tanah Abang sudah berdiri dari masa Hindia Belanda dengan nama Staatsspoorwegen Westerlijnen

SS-WL

pada tanggal 1 Oktober 1899. Kini statusnya sebagai stasiun kereta api kelas besar tipe B yang memiliki 6 jalur, terletak di kelurahan Kampung Bali, kecamatan Tanah Abang, kota Jakarta Pusat.

“Pak maaf KRL arah Angke yang lanjut ke Jatinegara sebelah mana ya?” Alif membuka pertanyaan kepada petugas KRL. Petugas KRL mengarahkan tangannya ke papan peron 2 Duri-Kampung Bandan-Angke-Jatinegara. Setelah mendapat jawaban, ia dan pak Fahri menaiki eskalator dan mencari armada KRL yang ditunjukan si petugas KRL.

“Mas tuh dia keretanya.” pak Fahri menujuk ke arah bawah.

“Oia pak, mau langsung masuk sambil cari tempat duduk atau gimana pak?” Alif menawarkan pilihan.

“Langsung masuk aja mas biar kita bisa santai, tapi biasanya sepi sih.”

Mereka langsung masuk di gerbong ke tiga dan mencari tempat duduk. Merapikan barang bawaan dan duduk santai.

“Wahh iya ya, sepi gini pak saya baru tahu.”

“Iya kan mas, enak nggak perlu desak-desakan. Soalnya, orang yang ke arah sini jarang mas, kebanyakan aktivitas ke arah Tanah Abang dan Duri.”

Alif menikmati perjalanannya dengan santai, memang nampak hanya beberapa orang saja dalam satu gerbong. Bahkan jika semua penumpang duduk di bangku yang ada di tiap gerbong pun masih banyak menyisakan yang kosong. Hari itu adalah perjalanan pertama Alif dengan kereta listrik dengan rute tersebut. Jauh lebih senggang, hanya saja rutenya memutar. Alif kembali memasang earphonenya, matanya menatap lekat ke arah jendela. Enatah apa yang ia pikirkan. Pak Fahri pun demikian, ia sibuk dengan kantuknya sendiri, rupanya sedari tadi ia menahan kantuk dan setelah mendapat tempat yang sepi dan nyaman ia langsung tertidur, lengkap dengan beberapa alunan backsoudnya.

Lambat-lambat Alif kembali mendengar suara announcement, ternyata sudah memasuki Stasiun Kampung Bandan. Stasiun Kampung Bandan merupakan Stasiun Kereta Api yang terbilang cukup lama berdiri, stasiun kelas II yang berbatasan dengan Kelurahan Ancol Jakarta Utara dan Kelurahan Mangga Dua Selatan Jakarta Pusat ini melayani perjalanan kereta api relasi Jakarta-Kota-Tanjung Priuk dan Jatinegara-Duri-Bogor.

*****

Sudut Jakarta lainnya

Mobil Avanza hitam memperlambat kecepatannya saat memasuki jalan kecil. Kaca mobil diturunkan dan nampak seorang pemuda berkacamata yang tengah memperhatikan petunjuk jalan.

“Bener nggak Fiz?” suara gadis berhijab abu-abu dengan kacamata hitam mengagetkannya.

“Kalo di map sih ya ini, tapi kok jalannya cuma muat satu mobil gini ya?” jawab Hafiz, yang menjadi sopir si perempuan muda tersebut.

“Lah emang kenapa kalo jalannya cuma muat satu mobil, iiiih dodol udah buru gas ntar gue telat loh.”

“Maksud gue tempat yang loe tuju itu kan tempat diklat, pikir gue pasti ada di pinggir jalan,” Hafiz tak mau kalah.

“Udah ikutin aja mapnya gih, yang penting gue nggak telat”.

“Iye iye bawel,” jawab Hafiz kesal.

*****

“Pak, pak Fahri udah sampai nih, pak bangun pak.” Alif menepuk pundak pak Fahri pelan.

“Oia ia, aduuh maaf mas saya ketiduran, maklum orang tua.”

Keduanya keluar dari gerbong, pak Fahri meregangkan badannya dengan maksud menghilangkan kantuk, Alif mencari bangku tapi tak dapat, ia jongkok dan mengambil air minum dari sisi carriernya.

“Kita naik yang mana pak?” tanya Alif sambil merapatkan kembali tempat minumnya.

“Nah itu dia mas, kalo disini saya lupa-lupa ingat, pokoknya jurusan ke Bekasi.” Jawab pak Fahri dengan posisi masih mencari-cari papan petunjuk arah.