PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Remember Us

Remember Us

Penulis:Chaniello

Berlangsung

Pengantar
Bagi Airin, 5 tahun bukan waktu yang singkat. 5 tahun bukan waktu yang cepat untuk mengobati semua rasa sakit, semua rasa kecewa, dan semua rasa ketika kamu tak pernah dianggap ada. Kisah mana yang menyebutkan bahwa hidup akan selalu bahagia? Beritahu Airin, maka akan ia ceritakan kisah sedihnya . Bagi Airin, benar kata orang, jika kebahagiaan selalu jadi nomor satu. Tapi untuk mencapai sebuah angka satu, selalu banyak angka dibelakang yang harus dilalui, entah ratusan bahkan ribuan. . Pesannya hanya singkat, katanya. Tolong untuk tetap ada disini, Tolong untuk tetap tinggal, Jangan pergi, Jangan menghilang, Karena kamu adalah rumah tempatku pulang.
Buka▼
Bab

Sore ini hujan lagi. Sudah tiga hari berturut-turut langit Jakarta selalu gelap diselimuti mendung. Hujannya tidak lama, tapi tetap saja, cukup membuatnya kembali pulang telat sore ini. Gadis itu hanya menghela nafas, badannya kembali bersandar sambil menatap air yang masih terus jatuh.

"Loh, Ai, kamu belum pulang?", seorang membuyarkan lamunannya.

"Masih hujan, Ra", dan lagi, ia menghela nafas panjang, tanpa mengalihkan pandangannya yang terlihat semakin pilu.

"Kamu masih takut hujan?"

Tanpa menjawab, pandangan lurusnya perlahan menoleh kepada sahabat yang ikut duduk disampingnya sejak tadi, bibirnya menyimpul senyum tipis, ia juga menggeleng pelan. Seakan mengisyaratkan, ia sudah mulai baik-baik saja.

*

Airin Shanina, nama cantik ini memang cocok disematkan untuk gadis unik yang baru saja pergi ke kamar mandi selepas sampai dirumah tadi. Memiliki arti nama sebagai seorang putri, Airin bagaikan putri dari negara antah berantah.

Bagaimana tidak? Sebagai gadis yang dikenal ramah walau kadang sesekali ceroboh, Airin juga bisa mendadak menjadi gadis misterius dengan kesedihan mendalam yang orang lain tidak tahu apa. Hanya satu orang yang mengetahui ini semua, Amora, sahabatnya sejak kecil.

Tidak, Airin tidak memiliki penyakit mental serius yang akhir-akhir ini sering dibicarakan oleh media. Mungkin hanya sebatas trauma. Ya, itu saja.

"Astaga Moly, apa yang kamu lakukan!", teriaknya sambil berkacak pinggang. Rambutnya yang masih basah ia lilitkan pada handuk besar berwarna biru.

Sambil terus bergumam, Airin berjongkok membereskan sisa sereal yang tumpah karena ulah kucingnya.

Airin memang hanya tinggal berdua dengan Moly, kucing jantan berwarna abu yang sering mengajaknya baku hantam. Setidaknya, Moly hanya akan diam saja meskipun mendengar Airin menangis dipertengahan malam.

Ponselnya berdering. Satu pesan masuk dari Ibu, memperlihatkan foto sang adik dalam acara kelulusan sekolah menengah pertamanya. Airin tersenyum, jemarinya mengusap foto itu berulang kali. Dalam hatinya berkata bahwa ia harus tambah semangat bekerja. Perihal sekolah Rasya, adiknya, sudah menjadi tanggungjawabnya sejak ayahnya tiada.

*

Sudah pukul 2 pagi, Airin masih menggusarkan badannya diatas kasur. Setidaknya sudah tiga film ia habiskan hingga saat ini. Diujung tempat tidurnya, Moly terlihat sudah terlelap di alam mimpinya, dan Airin sedikit iri dengan hal itu.

Airin menatap sekeliling kamarnya yang sudah ia gelapkan, hanya lampu tidur yang sedikit menerangi diatas nakasnya. Ia terlihat bosan entah ingin apa.

Ia tidak tertarik dengan ponselnya. Untuk apa juga. Ibu dan Amora pasti sudah tidur. Sosial media juga tidak menarik minatnya. Airin mengacak rambutnya frustasi.

Jangan suruh Airin untuk tidur, jika dirasa belum sangat lelah, maka Airin tidak akan tidur. Kalau ditanya, Airin akan menjawab dengan mudah, tidur hanyalah kegiatan terakhir yang akan ia lakukan jika tidak tahu lagi harus melakukan apa.

Kecuali ia mau meminum obatnya

Airin beranjak keluar kamarnya. Sepertinya minum cokelat hangat akan membuat tubuhnya menjadi rileks. Ia cukup menyesal pergi ke dapur tanpa membawa ponsel, setidaknya ia bisa sambil mendengarkan lagu yang ia putar keras-keras.

Tidak seperti saat ini. Sepi. Hanya dentingan sendok dalam mug favoritnya yang memecah keheningan. Airin bernyanyi pelan. Setidaknya menghindari lamunannya.

'Kamu jangan banyak melamun ya, Airin', pesan Ibu.

*

Airin berlari kecil mempercepat langkahnya, dengan sesekali menggerutu dan melirik jam dilengan kirinya.

Sial, semoga saja toko belum ramai pengunjung

Hari Senin menjadi hari paling sibuk, biasanya toko roti tempatnya bekerja selalu ramai pengunjung bahkan sejak pagi. Dan hari ini, Airin berangkat kesiangan lagi dan lagi.

Sialnya juga, setiap Senin pagi, Pak Bram, sang pemilik toko, akan datang tepat waktu hanya untuk bertegur sapa dan menengok sebentar kinerja para karyawannya.

Ini sudah menjadi peringatan terakhir untuknya. Berkali-kali ponselnya berbunyi tanda panggilan dari Amora. Ia hiraukan. Pikirnya, bagaimana ia bisa sampai secepat kilat agar tidak dipecat.

Terimakasih untuk dewa matahari karena hari ini tidak seterik biasanya. Airin terengah-engah didepan toko, tangannya menghapus peluh dan membenahi kuncirannya yang mulai berantakan.

Tapi tidak. Sepertinya ia lebih baik tidak datang secepat ini. Airin lebih baik memutar arah dan pulang tidur santai dirumahnya. Tidak peduli dengan surat peringatan, tidak peduli dengan Pak Bram, bahkan tidak peduli dengan Amora yang memperhatikannya dengan tatapan cemas.

Airin masih berdiri diambang pintu kaca toko. Tatapannya kosong menatap depan. Pikirannya menerawang jauh. Telapak tangannya terasa basah oleh keringat. Diujung sana, Amora mengisyaratkan dirinya untuk pergi bersembunyi.

Perlahan Airin menundukkan kepalanya, menatap sendu jari jemarinya yang saling bertautan. Ia menggigit bibirnya yang mulai bergetar.

Namun ia kembali tersadar, bahkan sedikit terperanjat, ketika mendengar suara bell berbunyi tepat disisinya, tanda pengunjung lain telah datang.

Airin menggelengkan kepalanya. Apa-apaan ini. Ia kemudian mengatur nafasnya dalam-dalam. Ini bukan masalah besar. Ia bisa menghadapinya. Dengan sedikit kasar, Airin melepas sebuah cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya, lalu dengan cepat ia masukkan kedalam saku celana.

"Airin, sedang apa kamu disana? Cepat masuk", Pak Bram menyadari kehadirannya.

Ia terkesiap. Bola matanya bergantian menatap Pak Bram, dan seorang lelaki dengan jas biru tua yang masih membelakanginya.

"Ehm, i-iya maaf, Pak", langkah kakinya semakin pelan ketika jarak diantara mereka semakin dekat, "Saya langsung ke dapur ya, Pak", lanjutnya.

Pak Bram terlihat terkejut dengan jawaban gadis belia diahadapannya. Ia memperlihatkan senyum tanda maaf kepada tamu dihadapannya, yang masih juga membelakangi Airin.

"Airin, semua karyawan disini sudah berkenalan dengan tamu spesial kita hari ini, jadi lebih baik kamu melakukan hal yang sama, cepat kemari, baru sehabis itu kamu bisa ke dapur dan buatkan roti terbaikmu untuk kami"

Airin membuka mulutnya, kemudian kembali merapatkannya lagi. Ia tidak tahu bagaimana caranya untuk menolak.

Gadis yang saat ini masih mematung itu kemudian memicingkan matanya kearah tamu spesial yang dibanggakan Pak Bram tadi.

Ia hanya berharap. Lelaki itu tidak mengacaukan harinya. Ia bahkan sangat memohon untuk itu.

"Tidak perlu, Pak Bram. Saya tahu toko anda sedang sibuk saat ini, saya maklumi jika Airin harus langsung bergegas untuk bekerja", lelaki itu kemudian membalik badannya.

Ini akan menjadi mimpi buruknya. Melihat wajahnya, Airin memejamkan matanya, berharap ini tidak nyata. Matanya kembali terbuka dan masih menampilkan sosok yang ia harap tidak akan pernah datang. Ini nyata.

Tidak ingin semua orang curiga, Airin hanya mengangguk pelan dan tersenyum tipis, "Terimakasih, Pak..", ucapannya menggantung

"Andra", Airin terbelalak melihat uluran tangan dihadapannya.

Ia menjadi kikuk. Tidak tahu harus berbuat apa. Apakah harus menjabat kembali tangannya? Atau biarkan saja dan pergi sesukanya?

Ah Tuhan, jika boleh jujur, hari ini bukan seperti hari yang Airin inginkan seperti sebelum-sebelumnya.

Airin memberanikan diri untuk menatap wajah pria dihadapannya, yang saat ini melihatnya dengan wajah serius. Sangat sangat serius. Airin bahkan menautkan alisnya, mengapa ia menatapnya seperti itu?

'hey, aku yang seharusnya memasang wajah dingin itu padamu', ucapnya dalam hati.

Tidak ingin membuat malu Pak Bram, yang sedari tadi sudah memberi isyarat -dengan sangat tidak sabar-, untuk Airin membalas jabatan tangan yang juga masih belum enyah dari hadapannya.

Dengan berat hati dan sedikit tersenyum paksa, Airin bersalaman dengan Andra, "Airin. Senang bertemu dengan anda Pak Andra. Saya permisi"

*

Harapan Airin hanya satu. Cukup hari ini saja. Dan jangan ada hari-hari lain yang terulang seperti ini. Ia tidak ingin mimpi buruknya selalu terulang di setiap hari, atau pada hari yang acak.

Airin tidak mengerti, mengapa lelaki itu harus muncul dihadapannya dengan rasa tak berdosa. Andra. Lelaki itu memang pandai membuat kekacauan. Sama persis seperti apa yang ia lakukan terakhir kali. Di lima tahun lalu. Saat semuanya mulai gelap, saat semuanya mulai membuat Airin kehilangan arah dan tak tahu harus berbuat apa.

Airin hancur. Wanita itu terluka. Gadis kebanggaan Ibu itu harus kecewa, dan merasakan apa itu arti patah hati sesungguhnya. Airin menangis pada malam minggu, di lima tahun lalu. Pintu kamarnya terkunci. Ia menangis hingga terlelap.

Tapi sayang, lelapannya hanya sebatas syarat mata yang tertutup. Tapi sayang, memori itu akan terus datang meski tanpa diundang. Mengajaknya bercanda yang tak tertawa. Bagaikan kaset yang sedang diputar, memori itu masih terekam sangat jelas didalam ingatan Airin.

Didalam ingatan seorang gadis yang saat ini hanya ingin menjalankan kehidupannya dengan normal, membantu Ibu serta adiknya, hingga suatu saat nanti mampu menemukan tambatan hatinya. Hanya itu.

Dan tadi pagi, ia harus melihat wajah yang sama dengan pelaku sakit hatinya. Pelaku yang tidak mengerti bagaimana Airin bersusah payah untuk mengembalikan kebahagiaannya. Pelaku yang dengan percaya dirinya berdiri dihadapan Airin, memasang wajah dinginnya, dan mengulurkan tangannya. Apakah dia tidak berpikir ketika melakukan itu semua?

Semua rasa sakit yang Airin rasa, Andra terlihat seperti tak tahu apa-apa.

Atau mungkin tidak ingin tahu. Mungkin hanya pura-pura tidak tahu. Atau bahkan mungkin saja memang tidak peduli sama sekali.

Dan Airin belum sepenuhnya bisa berdamai dengan itu semua.

#tbc