PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Who Is The Kill

Who Is The Kill

Penulis:Lintang Aksara

Berlangsung

Pengantar
Bukan Hilya jika tak menatap tajam. Tak disangka-sangka pula, gadis yang berparas polos itu ternyata licik dan cerdik. Siapapun yang mencari masalah dengannya, dipastikan tidak akan lolos dari rentetan dendamnya. Tak terkecuali mantan suaminya. Berbagai misteri akan terus menghantui Yanuar, mantan suami Hilya. Teror berdatangan silih berganti. Mereka sama-sama cerdik, tapi Hilya lebih licik. Siapakah yang akan menjadi pemenang dari teka-teki tersebut? Mari ikuti kisah terbaru ini!
Buka▼
Bab

Birmingham, Inggris 2017

Bruk!!!

“I’m Sorry, Sir.”

Sibuk bermain gawai ditengah jalan membuat Selvia tidak fokus. Ia tak sengaja menabrak seorang laki-laki yang berperawakan seperti orang Indonesia.

Untung saja ia tidak marah dan memaki-maki Selvia. Justru matanya menatap lekat-lekat pada wajah Selvia.

“From Indonesia?”

Selvia belum menyadari kalau laki-laki yang berbincang dengannya itu berasal dari Indonesia juga.

“Yes. I’m from Indonesia.”

“Oh, kenalin saya Arya, dari Indonesia juga,” ucap laki-laki itu yang tiba-tiba saja bahasanya berubah, memakai bahasa kebanggaan Selvia, yaitu bahasa Indonesia.

Selvia terkejut sekaligus senang. Bersyukur sekali ia dapat bertemu dengan orang Indonesia. Maklum, dia baru beberapa hari di Birmingham dan belum mengenal orang-orang di sekitar sini.

"Baru ya disini?" tanyanya kembali dengan senyum yang melelehkan hati Selvia. Wkwkwk

"Iya, Mas. Kebetulan saya mendapat beasiswa S2 di Universitas Birmingham," terang Selvia dengan bahasa yang masih agak canggung.

Dirasa tidak nyaman mengobrol di tengah jalan, Arya pun mengajak Selvia ke tempat makan terdekat. Berbincang-bincang santai sembari mengenalkan Selvia seluk-beluk Kota Birmingham.

'Sepertinya saya hafal dengan tatapan mata anak ini' batin Arya menerka-nerka .

"Mas Arya?" ucap Selvia sambil melambai-lambai\kan tangan di depan muka Arya.

"Eh, maaf."

Batin Arya masih penasaran dengan perempuan yang ada di depannya. Ingin menanyakan, tapi mungkin bukan sekarang waktunya.

"Kapan kuliahmu masuk?"

"Senin depan, Mas. Tapi, Selvia belum paham letak gedung-gedungnya."

Beberapa hari menetap di Kota ini, Selvia belum sempat berkeliling mengunjungi Gedung Universitas Birmingham. Ia masih beradaptasi dengan lingkungan yang ada di sekitar penginapannya.

Tak tanggung-tanggung, Arya langsung menawarkan diri untuk menemani Selvia berkeliling.

"Kalau butuh bantuan, hubungi saja nomor ini," ucap Arya menyodorkan kertas kecil yang bertuliskan nomor teleponnya pada Selvia.

"Siap!" Tangan lembut itu antusias menerima kartu nama tersebut.

***

[Besok Rika pulang, Bu.]

Tulis Rika pada sebuah pesan yang hendak ia kirimkan pukul 20.00 WIB.

[Sendirian?]

[Tidak, Bu. Diantar sama Putra. Sekalian mau liburan disana katanya. Boleh?]

[Oh, begitu. Boleh sekali, Rik.]

Rabu besok Rika berencana untuk pergi liburan dengan Putra. Tapi, hanya di sekitar wilayah Nganjuk. Lumayan, agar tidak menghabiskan banyak uang. Putra pun bisa bermalam di rumah Rika.

"Besok jangan siang-siang ya, Put," pinta Rika.

"Siap!"

Tahun ini mereka belum bisa melanjutkan studi S2. Oleh karena itu, mereka berencana untuk membuat usaha sendiri yang mana usaha itu akan mereka kelola berdua. Siapa tau, Tuhan memberi peluang untuk melanjutkan studi S2 melalui usaha tersebut.

***

Matahari masih bersembunyi di balik bukit-bukit. Mempersiapkan diri untuk memancarkan cahaya sepanjang hari. Tetesan embun tampak jelas di atas dedaunan. Bening. Udara di Sekaran masih sangat sejuk dan segar. Jalanan juga belum begitu ramai dengan kendaraan umum.

Tiit ... tiit ... tiit ... .

Suara klakson itu lantas membuat Rika keluar dari kontrakan. Masih sama, itu adalah kontrakan yang ia sewa selama menempuh kuliah S1 dahulu. Hanya saja tanpa adanya sosok Arfi.

"Wihh, tepat waktu banget kamu," goda Rika dengan senyum cengengesan.

"Suasananya romantis kalau masih dingin seperti ini."

Alih-alih tersipu dengan godaan Rika, Putra justru balik menggoda.

Rika tertawa terbahak-bahak. Tak ada rasa yang mampu mengalahkan rasa persahabatan mereka berdua. Sahabat rasa pacar kalau kata teman-teman PPL dahulu.

"Sealmari dibawa semua, Neng?" goda Putra kembali.

Rika mendengus kesal. Tak menghiraukan ucapan yang bermakna sindiran tersebut. Tubuhnya langsung naik ke sepeda motor Putra.

"Ini pakai helmnya jangan lupa," ucap Putra kembali sembari menyodorkan benda berat itu.

Setelah semua sudah siap. Putra bergegas melajukan sepeda motor kerennya. Membelah jalanan yang masih tertutup oleh kabut pagi. Dingin menyeruak hingga ke tulang. Padahal mereka sudah memakai jaket. Tapi, ini adalah suasana terfavorit bagi mereka berdua.

Tanpa diminta oleh Putra, Rika sudah meletakkan kedua tangannya di pinggang Putra.

"Ngebut saja tidak apa-apa. Tapi hati-hati!" teriak Rika di awal perjalanan.

Putra pun menambah kecepatan lajunya. Tak sabar untuk segera sampai di Kota Angin.

Sepanjang jalan mereka tak henti-hentinya berbincang. Pasalnya, jika diam saja, Rika pasti akan tertidur. Jadilah Putra harus mengajaknya mengobrol. Walaupun obrolan mereka tak jelas arahnya kemana.

"Jangan tidur!" teriak Putra dengan mencubit tangan Rika. Akan tetapi matanya masih fokus pada jalanan.

"Kok dicubit sih!" keluh Rika.

Putra hanya tertawa dibalik masker yang ia kenakan.

Sedang wajah Rika sepertinya berubah cemberut, tapi tidak mengantuk lagi.

***

Di sebuah pusat perbelanjaan Kota Birmingham, Selvia dan Arya sibuk berbelanja. Lebih tepatnya Selvia yang berbelanja untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sedang Arya hanya menemani sekaligus menjadi petunjuk jalan.

Lama-kelamaan dalam lubuk hati Arya muncul rasa yang tak seperti biasanya. Rasa penasaran dicampur dengan rasa entah apa namanya. Arya pun tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.

"Arya!" Suara berat yang sangat Arya kenali.

"Hai Mas Bagas!"

Selvia terkejut mendengar nama Bagas.

'Mas Bagas' batin Selvia.

Bagas mengernyitkan dahinya seraya bertanya pada Arya.

"Dari Indonesia juga?"

"Iya, Mas. Selvia namanya."

"Oh, kenalin saya Bagas dari Indonesia juga."

Selvia menerima uluran tangan tersebut. Saat itu, terasa ada yang berbeda. Bagas segera menepiskan pikiran-pikirannya tersebut.

Arya bercerita banyak tentang Bagas. Ternyata Bagas adalah salah satu kakak tingkatnya ketika SD dulu. Lebih tepatnya di SDIT Al-Haromain, Sawahan.

'Ah tidak salah dugaanku!' batin Selvia kembali.

"Kamu tinggal dimana kalau di Indonesia?"

"Setelah lulus S1 kemarin, Selvia pindah ke Jakarta, Mas. Awalnya Selvia tinggal di Semarang," terang Selvia.

'Oh, kukira dia adalah sosok yang beberapa tahun terakhir sedang aku cari. Tapi, Semarang?' batin Bagas bertanya-tanya.

Selvia dan Arya melanjutkan aktivitas belanjanya hingga hari mulai beranjak gelap.

“Aku pulang duluan ya, Mas.”

Bagas dan Arya menganggukan kepala dan melambaikan tangan pada Selvia.

Beberapa menit kemudian tubuh Selvia sudah hilang dari pandangan mereka berdua.

“Sepertinya aku mengenal tatapannya,” celetuk Bagas.

“Aku pun, Mas. Apakah yang ada di pikiran kita adalah orang yang sama?”

“Mungkin.”

“Tapi mengapa wajahnya tidak sama, ya?” tanya Arya semakin penasaran.

“Namanya pun tak sama,” lanjutnya lagi.

“Nah, itu dia masalahnya.”

Mereka berdua ingin membuktikan kalau perempuan bernama Selvia itu adalah seseorang yang ada dalam benak mereka.

“Aku sangat menanti kehadirannya kembali,” ucap Bagas dengan wajah bersalah.

“Sabar, Mas. Tuhan pasti mendengarkan doa-doa Mas Bagas.”

Arya memberikan kontak Selvia kepada Mas Bagas. Barangkali semua rasa penasarannya dapat terjawab. Bertahun-tahun sudah, Bagas mendambakan perjumpaan dengan sosok perempuan tangguh yang menurutnya sangat berjasa semasa hidupnya.

Bersambung ....