PopNovel

Baca Buku di PopNovel

Embrace

Embrace

Penulis:Dattebayo

Tamat

Pengantar
Aurora anuja, begitulah orang-orang menyebut namanya. Obsesi ibunya terhadap fenomena cahaya di kutub itu, dan kecintaannya pada bahasa sansekerta, membuatnya memilih nama itu untuk salah satu buah hatinya. Aurora mencintai nama itu, sebagaimana dia mencintaiku ibunya. Tapi nama itulah yang pada akhirnya menjadi kunci dari sesuatu yang tak ingin dia lihat isi di balik pintunya. Pertemuannya dengan Bogar Ekaanta membuatnya sadar satu hal, bahwa dirinya dan Bogar Ekaanta adalah orang asing yang diasingkan. "Aku bahkan benci saat orang-orang menyebut nama belakangku, ANUJA," tegasnya. Design by canva Photo by fixels.com
Buka▼
Bab

Suara tetesan air di kamar mandi, detak jam weker saling menyatu dalam nada, kadang terdengar menenangkan, menyeramkan, dan sesekali seperti alunan simponi suara hati yang syahdu dan penuh haru rindu.

Kedua benda itulah yang menjadi suara lain, selain degub jantung dan aliran nadi yang sejak beberapa tahun ini kehilangan makna keberadaannya.

Di dalam rumah dengan desain interior yang klasik, perpaduan warna putih dan coklat susu, lalu lampu-lampu yang bersinar lembut berwarna keemasan, tak menyilaukan mata.

Ia menjadi penerang di dalam rumah cukup luas yang nyaris ditelan gelap.

Di setiap sudut ruang, terlihat banyak kertas, dan kain putih.

Berserakan di atas meja yang keseluruhannya terbuat dari kayu.

Lukisan menghias dindingnya, bunga-bunga plastik dan guci kaca berlomba untuk menonjolkan diri.

Serta barang antik, seperti radio, televisi, telpon rumah, dan masih banyak lainnya.

Rumah yang berdiri di atas tanah satu setengah hektar ini, baru hari ini saja terlihat agak rapi dan bersih.

Sebelumnya, saat orang melihat isinya. Mungkin mereka tak dapat membedakan apakah ini hunian manusia atau bukan.

"Apakah ini layak untuk di huni manusia?," batin orang-orang

Pemandangannya sungguh mengerikan, seperti kapal karam yang sebelum tenggelam sudah terlebih dulu diamuk badai.

Masih bagus sarang babi.

Maklum, rumah ini terlalu lembut dan tak cocok untuk menjadi saksi dari penderitaan penghuninya.

Yang hampir berputus asa pada garis hidup yang dipilihnya.

Nama penghuninya Aurora.

Dia penghuni rumah mewah ini, wajahnya cantik, tubunya mungil, dan suaranya lemah lembut.

Seperti rumahnya yang baru hari ini saja terlihat rapi, Aurorapun demikian pula.

Sekali lagi maklumlah.

Meski ia telah berhasil berjalan satu langkah untuk rela atas apa yang menimpa dirinya.

Namun ada kalimat yang saat ini masih misteri dalam hidup Aurora yaitu, saat orang-orang mengatakan begini padanya.

“Saat kau menemukan keraguan, kebuntuan, dan jalan yang menyesakkan, serta tanggapan yang semakin membingungkan kepalamu. Maka, cukup dengarkan suara hatimu saja."

Saat dia memilih untuk mendengarkan nasihat di atas.

Maka tak ada yang berbeda.

Sebab, ia tetap hancur, buntu, dan bingung.

Dan dalam tangisnya ketika itu, ia bertanya pada tetes keran air dan detak jam weker itu setiap kali.

Kata Aurora, "Jawablah!, jika aku harus selalu mendengarkan kata hatiku lagi setelah semua ini. Namun saat itu hatiku hancur berkeping-keping, kata siapa lagi yang harus ku dengar?” tanyanya pada benda yang saling menyatu dalam alunan nada itu.

Tentu saja tak akan ada jawaban.

Kini Aurora mengasingkan dirinya. Tak kuasa lagi menampakkan wajahnya di hadapan Bogar dan orang-orang lainnya.

Setiap malam ia hanya mengisinya dengan keresahan dan mimpi buruk.

Semua bermula saat ia mengenal laki-laki itu.

Gadis penuh keceriaan dan suka berpantun ini kehilangan dirinya, saat kenyataan pahit menendang dadanya sangat keras.

Berakit kita ke hulu

habis rindu terbitlah cinta

perkenalkanlah diriku dulu

Si cantik bernama Aurora

“A-U-R-O-R-A," ejanya.

Ya, kalian bisa panggil aku begitu” katanya.

Adapun usia Aurora tak menentu.

Kenapa demikian?

Jika mengikuti data yang tertulis di akta kelahirannya, saat ini Aurora berusia 25 tahun.

Namun, ada satu kebiasaan orang-orang di generasi sebelumnya, mereka seringkali mengubah tanggal lahir seorang anak.

Kadang dituakan, dalam artian tanggal lahirnya dimundurkan dari tanggal sebenarnya, dan sebaliknya.

Sedangkan menurut neneknya. Aurora usianya 23 tahun.

Maka dapat dikatakan pula Auro adalah korban dari kebiasaan di generasi yang lalu.

Tentu saja ia menyadarinya.

.

Mungkin hal semacam itu tidak lagi penting dalam hidup banyak orang, karena yang terpenting saat ini kebahagiaan yang tak terusik oleh hal sepele bernama tanggal lahir dan antek-anteknya itu.

Tapi, tidak untuk seorang Aurora.

Karena tanpa pernah terpikirkan sebelumnya. tanggal lahir dan anteknya itu menjadi satu diantara sekian banyak duri yang menancap di palung hati. Mengusik ketenangan, kebahagiaan, keselarasan hidup dan lain-lain, yang tak bisa ia sebutkan semuanya.

Jika dibentangkan seluruh sungai menjadi satu, lalu tetes airnya bergantian menceritakan tentang apa yang Aurora alami, maka tak akan cukup, mereka akan kalah.

Sekalipun mereka menguapkan diri, lalu menjelma menjadi tetesan hujan.

Rintik-rintik itu bercerita, maka sama saja.

Hanya akan ada kesia-siaan belaka.

Aurora, selain menjadi doa, nyatanya ia juga menjadi mimpi buruk untuknya.

Saat orang lain justru hidup mengharapkan nama doa sebagai doa yang abadi.

Tapi, lagi-lagi Aurora tidak demikian. Selain tanggal lahir dan antek-anteknya.

Nama juga ikut-ikutan menjadi anak panah, yang tiba-tiba melesat dari busurnya.

Tanpa aba-aba, ia menghujam jantung, memecahkan seluruh pembulu darah.

Sehingga yang ada hanya kekacauan, hancur, yang Aurora sendiri menyebutnya KESALAHAN.

“Aku iri pada orang-orangg kadang kala” ucapnya.

Sebenarnya, Aurora hanya nama depannya saja.

Sedangkan ia memiliki nama belakang juga.

Setelah masa sulit yang ia hadapi dimulai, ia mulai benci menggunakan nama belakang itu.

Dan satu hal, yang selama ini menjadi rahasia umum dimanapun Aurora berada.

“Bahwa setiap orang yang mengetahui nama belakangku, dia akan gila, dan ia hanya bisa pasrah," ucapnya.

"Sebagaimana Qais si majnun yang terlunta-lunta dihadapan cintanya Layla," ucap Aurora pada tetes air dan jam weker miliknya.

“Sebagaimana aku saat ini, telah gila,"

“Dan kegilaan ku dimulai saat setelah semua yang tak ingin aku dengar, terpaksa harus ku terima sebagai sebuah kenyataan. Apa yang tak ingin aku ketahui, harus menunjukkan diri juga sebagai hal yang tak mungkin dapat dipungkiri," jelasnya lagi.

Semua tentang dia.

“Tatapan mata yang begitu aku kagumi, raut wajah dengan belah dagu yang dalam hitungan detik mampu mengikat hati. Lalu bidang dadanya yang menggemparkan isi dunia kaum Hawa, sungai-sungai bahkan iri dan dengki akan liak-liuk rambutnya. Dan masih banyak keindahan lainnya," kata Aurora.

Lalu dia melanjutkan, "Namun,namun,oh namun, siapa sangka. Keindahan itu ternyata hamparan bunga yang dibawanya tak lain ialah ranjau yang siap meledakkan, membinasakan, dan mematahkan kuncupnya pengharapan,"

"Seperti yang menimpa diriku, aku datang pada bunga yang elok itu, dengan segala keterbatasan yang ku punya, baik itu keterbatasan kedewasaan hati tentang cinta, hingga dengan mudah terpikat olehnya, atau keterbatasan akan pengetahuan yang pada akhirnya membuat aku jatuh pada jurang yang aku gali dengan sendirinya,"

“Aku injak ranjau darat dibawahnya. Meledak, patah kuncup pengharapanku, terkubur lalu mati," Sesalnya.

"Bahkan aku tidak tahu apa harapanku yang patah itu. Kalaupun ada, lalu pantaskah menyebutnya sebagai harapan, aku tanya padamu” tanya Aurora hanya pada jam wekernya saja.

Jam wekernya menjawab lewat detak jarumnya.

“Tapi wahai pendengarku yang budiman. Walau bagaimanapun, pertemuanku dan dia adalah hal yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya," tambahnya lagi.

Sangat tak terduga, penuh romantika, lembut dan pelan-pelan menuju liar.

Auroralah yang paling liar, dan wajahnya membuat Aurora semakin tak terkendali.

Tak hanya liar, ia bahkan menjadi buas. Haus dan penuh gairah.

Bagaimana mengumpamakan keliarannya, membandingkannya dengan apa atau siapa?

“Kalian pasti penasaran, siapa laki-laki itu. Selain cinta, luka, yang ia suguhkan. Ia juga menyuguhkan aku apa? “ jelas Aurora lagi pada lawan bicaranyaz si air dan si weker.

“Dari mana aku harus memulai tentang aku dan dia”

“Bagaiman jika aku mulai dari tanggal lahir kemudian namanya, kalian setuju?,"

"Ah pasti kalian tak setuju," ucap Aurora menjawab sendiri pertanyaan yang dia berikan pada jam wekernya.

Maklumlah.